Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Kaleidoskop 2018, Masalah Kesehatan di Indonesia Beralih, Trennya Dari Stroke Hingga Kanker

Di tahun 2018 ini peningkatan penyakit di Indonesia mulai mengalami transisi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular.

Penulis: Apfia Tioconny Billy
Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Kaleidoskop 2018, Masalah Kesehatan di Indonesia Beralih, Trennya Dari Stroke Hingga Kanker
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Sejumlah pasien kanker terminal menjalani kemoterapi di Ruang Kemoterapi V Klinik Kemoterapi Asnawati yang baru diresmikan di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Jalan Pasteur, Kota Bandung, Kamis (30/11/2017). Untuk menjawab kebutuhan yang sangat tinggi dari masyarakat akan kebutuhan ruang rawat intensif dan isolasi infeksi, RSHS menambah enam ruang baru yakni ruang rawat ICU (Intensive Care Unit), GICU (General Intensive Care Unit) dan PICU (Pediatric Intensive Care Unit / ruang perawatan intensif anak), Ruang Isolasi Infeksi Khusus Kemuning dan Unit Luka Bakar, Klinik Kemoterapi Asnawati, serta Conference Studio Cendana. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Di tahun 2018 ini peningkatan penyakit di Indonesia mulai mengalami transisi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular.

Penyakit tidak menular tersebut diantaranya kanker, stroke, diabetes melitus, jantung, ginjal, hipertensi, serta depresi juga masuk ke dalamnya.

Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 penyakit tidak menular naik 0,4 persen dibandingkan tahun 2013 dari 1,4 persen jadi 1,8 persen. Penyakit diabetes melitus cukup mengalami lonjakan yang tinggi dari 6,9 persen menjadi 8.5 persen.

Berdasarkan data International Diabetes Federation (Diabetes) Atlas Indonesia pada tahun 2017 lalu Indonesia menempati urutan ke-6 dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia.

Penyakit yang timbul karena tingginya kadar gula di tubuh ini juga terus meningkat karena kurangnya pemeriksaan dini dan pada beberapa kasus ada juga pengidap diabetes yang tidak merasakan gejala apapun.

Yang tidak merasakan gejala apapun tersebut terkadang diketahui ketika sudah mengidap komplikasi yang disebabkan oleh diabetes seperti jantung atau stroke.

Sehingga disarankan untuk melakukan pemeriksaan rutin gula rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan lainnya.

Berita Rekomendasi

Namun untuk pemeriksaan gula tersebut juga ada kendalanya. Dr. Fatimah Eliana dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) menyebutkan saat ini pendeteksian diabetes paling mudah dilakukan dengan pengambilan darah.

Sementara itu masih banyak juga masyarakat yang tidak bersedia jika darahnya diambil.

“Paling mudah deteksi lewat darah, tapi gak semua orang bersedia lewat darah kapiler saja sehingga ada keterlambatan diagnosis, gak tahu nantinya ada penyakit diabetes,” tutur dr Eliana saat menghadiri Diskui Diabetes di kawasan Kuningan, Kamis (20/12/2018).

Dr. Agung Pranoto dari Ketua Persatuan Diabetes Indonesia menyebutkan penyakit Diabetes sangat mudah untuk dikenali diantaranya terlalu sering buang air kecil atau kencing, selain itu mudah merasa lapar padahal sudah makan dan minum tetapi berat badan malah mengalami penurunan.

“Gejala klasik gula terlalu tinggi ya banyak kencing, lalu gula tinggi itu terlihat dia lapar terus, banyak makan, dan banyak minum dan berat badan turun nah itu bisa dicuriai,” kata dr. Agung di acara Diskusi Deteksi Awal Diabetes di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/12/2018).

Selain itu penyakit yang biasanya terjadi pada orang yang kelebihan berat badan itu akan menganggu jaringan-jaringan sehingga bisa menyebabkaan penglihatan kabur dan kerap muntah kalau perutnya sudah terlalu padat, karena lambungnya tidak lagi berfungsi secara normal.

“Kalau sudah terkenala pembuluh darah akan datang kabur mata, gejala perut tuh gampang juga terlihat pas makan padat sedikit bisa muntah karena lambungnya lumpuh,” papar dr. Agung.

Kenaikan tingkat penyakit tidak menular ini juga berhubungan dengan gaya hidup yang buruk seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, kurangnya aktivitas fisik serta kurang mengonsumsi buah dan sayur.

Rokok tersebut juga cukup mengganggu kesehatan gigi dan mulut, dengan berkembangnya kanker rongga mulut yang ternyata lebih mematikan dibanding kanker payudara.

“Tidak lebih dari 5 tahun seperti pada kanker payudara dengan stadium yang sama. Angka bertahan hidup kanker rongga mulut kecil dibawah tiga tahun,” kata Ketua Ikatan Spesialis Penyakit Mulut, Drg. Rahmi Amtha, saat ditemui di di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).

Kanker rongga mulut tersebut ditandai dengan perubahan warna rongga mulut dari yang seharunsya merah menjadi putih, atau kombinasi keduanya, dan adanya luka atau sariawan yang tidak sembuh-sembuh.

Sariawan yang tidak menimbulkan rasa sakit itu lah yang berbahaya, karena seharusnya luka terasa sakit terlebih jika sariawan sudah lebih dari empat minggu, harus segera melakukan pemeriksaan ke dokter.

“Sariawan yang tidak sembuh paling lama sebulaan karena kulit kita memiliki perubahan sampai dua minggu jadi kalau empat minggu gak sembuh mari periksa,” ungkap Drg Rahmi saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).

Stres juga ternyata dapat menyebabkan kanker rongga mulut yang indikasinya menurut Drg. Sri Hananto Seno, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia stres memicu aktifnya sel kanker dalam tubuh.

“Stres bisa sebabkan kanker rongga mulut itu ada. Ada pasien tang karena permasalahan prinadi yang dipikirkam selama setahun. Bukan cuma stres yang sehari-hari karena putus cinta tapi stres yang lama,” ungkap Drg. Seno saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/12/2018).

Stres tersebut juga dapat menyebabkan penyakit tidak menular lainnya seperti jantung hingga hipertensi.

Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Ario Soeryo Kuncoro orang yang tinggal diperkotaan lebih riskan terkena stres karena masalah macetnya jalanan, ditambah dengan permasalahan pekerjaan dan masalah pribadi lainnya.

Namun tetap penyebab yang paling utama kembali adalah rokok termasuk juga asap rokok bagi perokok pasif.

“Itu bisa jadi pencetusnya, yang kita lupa stop rokok itu, kita yang perokok pasif juga bisa kena jantung karena asap terpapar polusi udara,” kata Ario saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (14/11/2018).

Masih berdasarkan data dari Riskesdas peningkatan proporsi gangguan jiwa pada 2018 sebesar 7 persen, naik derastis dari 2013 yang berada di angka 1,7 persen.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas