Punya Kebiasaan Santap Makanan dengan Cepat? Ini Risikonya Bagi Kesehatan
Apakah Anda punya kebiasaan makan dengan cepat? Jika iya, hentikan kebiasaan tersebut karena berisiko bagi kesehatan.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Apakah Anda punya kebiasaan santap makan dengan cepat? Jika iya, hentikan kebiasaan tersebut mulai dari sekarang, meskipun Anda sedang terburu-buru. Makan yang terlalu cepat dapat berisiko bagi kesehatan.
Para ahli kesehatan telah menyarankan, dibutuhkan sekitar 15 hingga 20 menit untuk membangun pencernaan dan kontrol porsi yang tepat.
Inilah berbagai bahaya yang mengintai ketika makan terlalu cepat.
1. Diabetes
Sebuah penelitian di Lithuania pada tahun 2012 mencatat, makan terlalu cepat bisa menyebabkan diabetes.
Diabetes tipe 2 dapat disebabkan oleh resistensi insulin, suatu kondisi di mana sel-sel dalam tubuh tidak merespons secara efektif terhadap hormon insulin.
Baca: Kenali 5 Gejala Diabetes yang Harus Diwaspadai
"Ketika orang makan cepat, mereka sulit merasa kenyang dan lebih cenderung makan berlebihan. Makan terlalu cepat menyebabkan fluktuasi glukosa yang lebih besar, yang dapat menyebabkan resistensi insulin," kata Dr. Takayuki Yamaji, ahli jantung dari Universitas Hiroshima di Jepang, dilansir dari laman medicaldaily.
2. Tersedak
Saat Anda makan terlalu cepat, bukan tidak mungkin akan tersedak. Hal ini bisa terjadi tidak hanya pada orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak bila terlalu cepat menelan makanan dan tidak cukup mengunyahnya.
Bahkan, risiko tersedak makanan juga dapat dialami ketika Anda berbicara atau tertawa saat makan.
Baca: Inilah Obat Alami Infeksi Pencernaan Anak
"Kita benar-benar dapat tersedak apapun. Maka harus mengunyah dengan benar dan tidak menelan dalam jumlah besar," papar Joan Salge Blake, seorang profesor nutrisi di Boston University dan juru bicara American Academy of Nutrition and Dietetics.
3. Masalah jantung
Risiko kesehatan lain dari makan terlalu cepat yaitu bisa menimbulkan masalah pada jantung. Ini dibuktikan oleh Dr. Takayuki Yamaji, ahli jantung dari Universitas Hiroshima di Jepang.
Yamaji, penulis utama penelitian ini telah meneliti lebih dari 1.000 peserta selama 5 tahun.