Berperan Aktif Dalam Meningkatkan Gizi Bangsa Melalui Asian Congress of Nutrition 2019
Populasi global tengah menghadapi krisis yang saling terkait, mencakup kemiskinan, masalah gizi buruk dan mortalitas dan morbiditas anak
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Indofood Sukses Makmur Tbk berpartisipasi dalam ajang Asian Congress of Nutrition (ACN) 2019, bertemakan ‘Nutrition and Food Innovation for Sustained Well-being’ yang diselenggarakan 4 - 7 Agustus 2019 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali.
Dalam acara ilmiah yang dihadiri pakar gizi dan medis dari berbagai negara, tampil sejumlah pembicara pada plenary session yang mengusung tema Accelerating The End of Hunger/Malnutrition antara lain Prof. Martin W Bloem selaku Professor of John Hopkins Bloomberg School of Public Health dan Director of Center for Livable Future dan Axton Salim, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Sedangkan pada sesi simposium menghadirkan pembicara antara lain.Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, ahli pangan dan Ketua Pusat Pangan SEAFAST IPB dan Dr Ir Roy Sparringa MAppSc dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Prof Bloem menyoroti tentang tantangan global yang dihadapi sejumlah negara di dunia saat ini, antara lain mencakup pengurangan kemiskinan, perlunya memperbaiki sumber daya manusia yang dapat dilakukan antara lain dengan mencegah stunting, akses pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih baik, serta sistem pangan berkelanjutan.
Bloem mengatakan, populasi global tengah menghadapi krisis yang saling terkait, mencakup kemiskinan, masalah gizi buruk (gizi kurang dan kegemukan), juga masalah kesehatan (mortalitas dan morbiditas anak). Bloem menyebut ada lima miliar orang tinggal di kawasan di mana gizi buruk dan kematian anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Baca: Siapa Saja yang Berhak Menerima Daging Kurban? Begini Ketentuannya
Guna memutus mata rantai ini, konsumsi makanan bergizi harus berkelanjutan. Prof Bloem menyebut, pelaku usaha dalam hal ini dapat berkontribusi dengan menyediakan makanan bergizi, antara lain dengan fortifikasi.
Solusi Masalah Gizi dengan Fortifikasi
Terkait masalah gizi, lndonesia saat ini menghadapi beban ganda (double burden). Di satu sisi Indonesia menghadapi masalah gizi kurang (pendek/stunting, dan kurus), di sisi lain Indonesia telah dihadapkan pada masalah obesitas atau kegemukan.
Selain beban ganda masalah gizi, Indonesia juga dihadapkan pada masalah kekurangan gizi mikro, yang berpotensi menjadi hidden hunger (bentuk kekurangan gizi mikro berupa defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B yang tersembunyi). Hidden hunger ini memiliki dampak serius karena dari luar tidak menampakkan gejala, namun sebenarnya masalah itu ada (penderitanya jadi gampang sakit).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen dari 37,2 persen di 2013, prevalensi gizi kurang (underweigth) juga membaik dari 19,6 persen pada 2013 menjadi 17,7 persen (2018) sedangkan prevalensi kurus (wasting) turun ke posisi 10,2 persen (2018) dari 12,1 (2013).
Meskipun angka stunting menurun, masih belum memenuhi syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di ambang batas 20 persen.
Baca: 4 Fakta Ester & Ezra, 2 Balita Dibuang di Pinggir Jalan Medan, Kurang Gizi, Dirawat di Panti Asuhan
Senada dengan Prof Bloem, Prof Purwiyatno mengatakan masyarakat Indonesia masih mengalami kekurangan gizi mikro, seperti yodium, vitamin A, zat besi, hingga mineral lainnya.
Kemiskinan masih menjadi faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ini.
Karena miskin, tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan makanan sehat dengan mudah, sehingga harus dicarikan solusinya, antara lain fortifikasi pangan oleh dunia usaha.