Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Dorong Peningkatan Konsumsi Protein Hewani untuk Turunkan Prevalensi Stunting

Dalam pencegahan stunting, pemantauan status gizi dan antopometri anak perlu dilakukan secara berkala

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Dorong Peningkatan Konsumsi Protein Hewani untuk Turunkan Prevalensi Stunting
istimewa
(Kiri-kanan).Ahmad Syafiq, PhD - Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI, Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), Prof. Dr. dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K), Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM 

"Bahkan pada beberapa kondisi medis tertentu,apabila diperlukan, pasien akan disertai dengan preskripsi PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) untuk membantu mengejar ketertinggalan berat badan dan tinggi badan mereka,” kata Prof Damayanti.

Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) menyatakan, asupan protein paling baik dapat diperoleh dari sumber protein hewani yaitu telur dan susu karena memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap untuk mendukung pertumbuhan linear anak-anak.

Bertolak belakang dari fakta para ahli tentang pentingnya asupan protein hewani, pada kenyataannya asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah.

Dalam salah satu studi ditemukan bahwa asupan protein hewani yang rendah ini berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting.

Baca: Vaginismus: Tubuh saya tidak mengizinkan saya berhubungan seksual

Anak yang tidak mengkonsumsi jenis protein hewani apapun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang mengonsumsi tiga jenis protein hewani yaitu telur, daging, dan susu.

Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, susu adalah yang paling erat hubungannya dengan angka stunting yang rendah karenakonsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.

Sayangnya, di Indonesia usia pemberian susu tergolong terlambat karena banyak setelah anak berusia lebih dari 1 tahun. Kondisi ini meningkatkan risiko stunting sebanyak 4 kali pada anak usia 2 tahun.

Berita Rekomendasi

Ahmad Syafiq, PhD, Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI menyatakan, diperlukan analisis dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat untuk dapat secara efektif merancang program yang berbasis evidens dan berfokus pada pencegahan.

"Terobosan pencegahan stunting juga perlu melibatkan seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) dan memberdayakan masyarakat agar semua pihak mampu terlibat secara aktif dalam upaya penurunan stunting,” katanya.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang diwakili oleh Dr. Entos Zainaldalam pidato pembukaannya menguraikan fokus Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 akan menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk di bidang kesehatan.

“Stunting mengakibatkan kerugian negara setara 4 Triliyun per tahun atau sebesar 3% dari PDB,sehingga percepatan penangangan stuntingtetap menjadisalah agenda besar pemerintah ke depan," katanya.

Baca: 8 Menu Sarapan Enak di Jepang, Enak dan Bergizi yang Harus Kamu Coba

Untuk mencapai target capaian prevalensi stuntingsebesar 19% di tahun 2024 tentunya bukan tugas yang mudah.

"Perlu  terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta untuk segera menangani hal ini secara konkrit,” kata Entos. 

Seminar GUB berlangsung selama 2 hari dari tanggal 20-21 September 2019 di Universitas Indonesia.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas