Kata Ahli Tentang Orang yang Gampang Marah
Marah merupakan hal yang wajar. Namun, ia menjadi tidak wajar apabila diluapkan tanpa alasan jelas.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Marah merupakan hal yang wajar. Namun, ia menjadi tidak wajar apabila diluapkan tanpa alasan jelas.
Misalnya, gampang tersinggung dan seolah ingin membentak orang di sekitar kita, walau tidak tahu apa penyebabnya. Itu merupakan sesuatu yang tidak normal.
Ada banyak pemicu amarah. Salah satu penjelasannya adalah kita memiliki batasan yang lemah. Kita mengatakan ‘iya” ketika sebenarnya ingin menolak.
Kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak nyaman demi orang lain. Kita sangat lelah dan merasa kosong.
Baca: Empat Tips dari Psikolog Memilih Mainan yang Tepat untuk Anak Agar Tumbuh Kembangnya Maksimal
Baca: Kasus Guru Ajak Siswi SMK di Bali untuk Hubungan Intim Bertiga, Begini Tanggapan Psikolog
Baca: Kadang-kadang Jadi Pelupa Bukan Melulu karena Faktor Usia, Bisa Jadi Anda Stres
Psikolog Julie de Azevedo Hanks mengatakan, banyak orang tidak menyadari mengapa dirinya gampang marah.
“Kita merasa orang memanfaatkan kita dan tak sadar sebenarnya kita juga ambil bagian mengapa hal itu terjadi,” kata Hanks.
Kurang tidur dan tenggelam dalam daftar pekerjaan yang panjang juga bisa membuat kemampuan kita menghadapi masalah berkurang. Kita pun berubah jadi pemarah.
Pemicu marah lain yang jarang disadari adalah depresi. Selama ini orang mengira depresi hanya berarti sedih dan menangis berkepanjangan.
"Meningkatnya emosi marah sebenarnya juga salah satu gejala,” katanya.
Psikoterapis Rebecca Wong melihat banyak individu dan pasangan yang merasa marah karena masalah dalam hubungan.
Mereka marah kepada suami atau istri, anak, orangtua, teman, atau rekan kerja.
Baca: Motivator Kewirausahaan yang Terpancing Emosi Tampar 8 Siswa Saat Ditertawakan Berbuntut Panjang
“Rasa marah juga bisa timbul karena merasa tidak dilihat atau diperhitungkan,” kata Wong.
Kita mungkin berharap sahabat mendukung, tetapi ia tidak melakukannya. Kita berharap pasangan ikut membantu dalam pekerjaan rumah, tetapi ia seolah selalu sibuk dan tidak mengerti.
“Bila tombol itu terus-terusan ditekan, emosinya akan berbalik menjadi amarah tanpa tahu penyebabnya,” katanya.
Cindy (bukan nama sebenarnya) adalah wanita berusia 30-an tahun yang terlihat ceria dan positif, tetapi juga lelah.
Cindy adalah orang yang senang membantu dan memiliki empati kepada orang lain (kecuali untuk dirinya).
Ia memiliki dua anak berkebutuhan khusus. Suaminya jarang membantu Cindy dan jarang berinteraksi dengan kedua anaknya karena sibuk kerja.
Cindy juga bekerja keras untuk membuat semua orang senang. Ketika Cindy merenungkan perasaan dan pikirannya, ia menyadari bahwa ia merasa marah karena melakukan parenting sendirian.
Ia juga menyadari dasar dari kemarahannya adalah perasaan kesepian. Ia merasa tidak didukung.
Psikoterapi Michelle Farris mengatakan, seperti Cindy, banyak orang yang tidak menyadari perasaan dan pikirannya sendiri.
“Kebanyakan orang tidak menavigasi perasaan sendiri. Apalagi, lingkungan mendorong kita untuk menghindari konflik, selalu bersikap baik dan berkata ‘iya’ walau sebenarnya tidak mau. Kita bergumul dengan rasa marah karena merasa tabu untuk menunjukkan emosi,” kata Farris.
Setelah melakukan sesi terapi, Cindy akhirnya belajar untuk mengatur emosinya. Ia secara khusus meminta suaminya untuk lebih memberikan dukungan.
Cindy pun kini tak lagi merasa kesepian. Dalam banyak kasus, rasa marah sebenarnya adalah emosi kedua.
Di balik rasa frustrasi dan gampang tersinggung, ada emosi yang rentan, seperti kesepian, kesedihan, atau takut. Sering kali emosi itu sulit untuk diekspresikan.
Berita ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Sering Marah Tanpa Sebab? Mungkin Ini Penjelasannya