Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Anak Ketakutan Berlebih? Hati-hati, Ini Salah Satu Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak

Kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 yang dialami anak paling tinggi dibandingkan kekerasan lain yang dialami anak.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Anak Ketakutan Berlebih? Hati-hati, Ini Salah Satu Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak
Pixabay
Ilustrasi kekerasan pada anak 

Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 yang dialami anak paling tinggi dibandingkan kekerasan lain yang dialami anak.

Data dari Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R pada 1-19 Juni 2020, kekerasan fisik dialami 852 kasus, kekerasan emosional 768 kasus, sementara kekerasan seksual 1.848 kasus.

Banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak membuat berbagai pihak harus waspada.
Dokter Spesialis Anak Dr Hari Wahyu Nugroho, Sp.A(K), M.Kes mengatakan, kasus kekerasan seksual pada anak sulit dan seringkali terlambat terdeteksi.

Ia berharap orang terdekat korban harus mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada anak. Bila mendapati anak dengan tanda-tanda ini, harus segera waspada.

“Kasus kekerasan seksual pada anak biasanya sulit atau terlambat terdeteksi. Seringkali pelaku akan membina hubungan baik dengan korban sehingga nyaman.

Pelaku akan meningkatkan aktivitas dengan perabaan sehingga korban tidak ada yang salah dengan perlakukan tersebut dan tidak melapor kepada orangtua, juga tidak mengeluhkan secara dini kasus-kasus kekerasan,” kata dokter Hari saat menjadi pembicara di symposium online Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan tema ‘waspadai kekerasan pada anak di masa pandemi’, Rabu (23/12/2020).

Berita Rekomendasi

Hal ini karena anak tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan atau karena perkembangannya belum siap.

Sehingga ia berharap orangtua atau orang terdekat korbanlah yang perlu memahami adanya perubahan pada anak yang mengarah adanya kekerasan.

Pada kesempatan itu, dokter Hari juga mengingatkan orangtua dan juga medis yang mendapati anak dengan kondisi adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus.

“Bila ada infeksi gonokokus harus curiga adanya kekerasan seksual pada anak. Karena infeksi ini seharusnya belum dialami anak-anak,” katanya lagi.

Masih di seputar kelamin, adanya infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak dibawah usia 12 tahun, rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina, adanya gangguan dalam mengendalikan buang air besar atau buang air kecil, serta adanya kehamilan pada usia remaja.

Selain pada daerah kelamin, orangtua dan medis juga perlu mewaspadai adanya luka pada lokasi yang tidak lazim, misalnya di buah dada, pantat, perut bagian bawah, paha, dan sekitar alat kelamin atau dubur, terdapat luka tamparan, gigitan, cekikan, ikatan, alopesia traumatis.

Seringkali adanya ketidakpedulian sesuai derajat luka, riwayat kecelakaan tidak masuk akal, tidak cocok dengan derajat dan lokasi luka, riwayat kecelakaan berubah-ubah, dan keterangan tidak cocok satu sama lain, serta keterlambatan mencari pertolongan.

Faktor Risiko

Tindakan pencegahan juga perlu dilakukan. Orangtua juga harus mewaspadai faktor risiko kekerasan seksual pada anak.

Faktor risiko itu bisa berada di anak itu sendiri, orangtua dan lingkungan.

Dokter Hari menyebut adanya cacat fisik, retardasi mental, dan gangguan perilaku pada anak, menambah risiko terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Pada orangtua sendiri juga perlu mewaspadai ketika adanya depresi, pernikahan dini, perceraian, dan trauma masa lalu. Sedangkan lingkungan juga mempengaruhi risiko kekerasan seksual pad anak ketika di sekitar ada banyak pengangguran, unwonted child, adat, serta pengaruh media massa.

“Ada beberapa adat yang memperbolehkan pernikahan anak-anak, padahal anak belum menginginkannya," jelas Hari.

Pelaku Kekerasan

Secara umum, dari hasil survey nasional pengalaman hidup anak dan remaja 2018 (SNPHAR 2018), menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki, dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. 1 dari 2 anak laki-laki dab 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik. Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.

Hasil SNPHAR 2018 itu juga menunjukan anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Bahkan pelaku kekerasan baik kontak maupun non kontak paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47 persen – 73 persen), atau sekitar 12 persen – 29 persen pacar menjadi pelaku kekerasan seksual. d

Dokter spesialis anak, Dr Ariani, Sp.A(K), M.Kes mengatakan, dampak kekerasan yang dialami anak bisa berdampak langsung dan tidak langsung.

Dampak langsung bisa menyebabkan mortalitas (kematian) dan morbiditas (kecacatan) serius bisa kerusakan saraf, patah tulang, infeksi, luka dan lainnya.

Adanya gangguan emosi seperti kurang konsentrasi, enuresis (ngompol), enkopresis (keluarnya feses secara tidak sengaja) (gangguan makan), anoreksia, hilang percaya diri, perubahan tingkah laku, mencoba bunuh diri, phobia, cemas, dan agresif.

Sedangkan gangguan tidak langsung kepada kesehatan mental, diantaranya berisko kebiasaan seksual berisiko, obesitas, melakukan tindak kriminal, gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder (PTSD), sindrom nyeri berkepanjangan, kelelahan yang berkepanjangan (chronic fatigue syndrome), sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome).

“Dampak para korban bisa berlanjut menjadi pelaku. Risikonya bisa 7 kali lipat pada saat dewasa menjadi pelaku kekerasan seksual daripada yang saat anak-anaknya tidak punya pengalaman kekerasan seksual,” kata dokter Ariani.

Sehingga diperlukan pengobatan yang tuntas baik fisik terutama mental anak-anak yang mengalami kekerasan seksual.

Definisi kekerasan seksual pada anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, sementara ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan atau yang melanggar hokum atau pantangan masyarakat.

Definisi anak berdasarkan UU no 23 th 2002, UU no 35 th 2014, Perpu no 1 th 2016,a dalah seorang anak yang belum 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. KUH Perdata : seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun usianya belum cukup 18 tahun. (lis)

Berikut dampak/akibat kekerasan seksual berdasarkan usia:

*Usia 2-5 tahun

- gangguan tidur, mimpi buruk

- rasa takut berlebihan terhadap orang tertentu

- cemas perpisahan, biasanya berangkat ke sekolah mau, ini takut ditinggal di sekolah atau takut ditinggal di rumah.

- perilaku regresi misalnya yang tidak mengompol jadi mengompol lagi.

*Usia 6-12 tahun

- kesulitan belajar

- kecemasan berlebihan

- agresif/depresi

- gangguan tidur.

- perilaku regresi

*Usia 12-18 tahun

- merusak diri, anak bisa lari ke narkoba

- depresi

- psikosomatis

- trauma di masa lalu

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas