Solusi Menurunkan Kadar Hemoglobin A1c untuk Pengobatan Pasien Diabetes Tipe-2
Menurunkan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) secara signifikan saat ini diyakini menjadi salah satu cara pengobatan diabetes tipe-2
Penulis: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diabetes merupakan penyakit endemik global dengan tingkat prevalensi yang terus meningkat pesat di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Meskipun sekarang ini berbagai pengobatan sudah tersedia, banyak pasien diabetes tipe-2 yang masih menghadapi berbagai masalah seperti kesulitan mengontrol kadar glikemik, berat badan, dan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular serta ginjal, serta tingkat kepatuhan terhadap pengobatan yang masih rendah.
Menurunkan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) secara signifikan saat ini diyakini menjadi salah satu cara pengobatan diabetes tipe-2.
HbA1c merupakan indikator penting untuk mengendalikan kadar gula darah secara jangka panjang karena pengukuran HbA1c adalah cara yang paling akurat untuk menentukan kadar gula darah selama dua sampai tiga bulan terakhir.
Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI) Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD mengatakan, meskipun sudah mengikuti pedoman klinis dan melakukan kendali glikemik dengan benar, pasien seringkali tidak mampu menurunkan nilai HbA1c hingga mencapai target.
Baca juga: Bolehkah Penderita Diabetes Melitus Makan Nasi Putih? Ini Penjelasan Dokter
Bahkan, studi menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen orang dewasa dengan diabetes tipe-2 di Indonesia gagal mencapai target HbA1c di bawah 7 persen.
"Mencapai target nilai HbA1c menjadi penting karena dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler, menurunkan angka penyakit kardiovaskular secara jangka panjang jika diterapkan pada pasien yang baru terdiagnosis, dan menurunkan angka kematian terkait diabetes," kata Ketut dalam keterangannya, Selasa (3/8/2021).
Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa kelebihan berat badan merupakan faktor risiko utama penyebab diabetes tipe-2.
Direktur Indonesian Diabetes Institute Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FINASIM, FACE mengatakan, studi menunjukkan bahwa sekitar 70 persen pasien diabetes di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Padahal, obesitas dapat meningkatkan risiko kematian yang diakibatkan oleh penyakit komorbid. Indeks massa tubuh (body mass index, BMI) yang tinggi dapat meningkatkan risiko kematian yang tinggi pula, yang sebagian besar diakibatkan oleh komplikasi penyakit kardiovaskular.
"Namun, meskipun sudah menerapkan perubahan gaya hidup, beberapa pasien masih mengalami kesulitan mengurangi berat badan mereka,” katanya.
Diabetes dan kelebihan berat badan ataupun obesitas akan menjadi faktor risiko utama penyebab penyakit kardiovaskular. Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Dr. dr. Sally A. Nasution, Sp.PD-KKV, FINASIM, FACP mengatakan, tak hanya risiko penyakit kardiovaskular, diabetes juga dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis. Glukosa darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah di ginjal.
"Ketika pembuluh darah rusak, ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik. Banyak orang dengan diabetes juga mengalami tekanan darah tinggi, yang juga dapat merusak ginjal," katanya.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dr. Aida Lydia, Sp.PD-KGH, Ph.D, FINASIM menyampaikan, diabetes adalah salah satu penyebab terjadinya penyakit ginjal stadium akhir (end-stage renal disease, ESRD) yang membutuhkan hemodialisa atau transplantasi ginjal.