Epidermolisis Bulosa, Penyakit Kulit Langka, Ketahui Sebab hingga Perawatannya
Epidermolisis Bulosa membuat kulit rapuh dan mudah sekali timbul luka, karena cuaca panas, gesekan, atau garukan secara spontan.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM – Bagian tubuh yang paling luas dan memiliki banyak sekali peran penting bagi tubuh adalah kulit.
Kulit berperan sebagai pelindung seluruh anggota tubuh manusia bagian dalam, dan melindungi dari berbagai benda asing di luar tubuh.
Karena itu sangat penting untuk menjaga kesehatan kulit, tidak hanya dari segi estetika, tapi juga agar kulit dapat memaksimalkan perannya.
Meski begitu, terdapat beberapa jenis penyakit yang menyerang kulit, yang beberapa di antaranya bersifat berat hingga sangat mengganggu kualitas hidup penderitanya.
Epidermolisis Bulosa (epidermolysis bullosa atau EB), adalah suatu kelainan kulit langka, dengan angka kejadian dilaporkan terjadi pada satu tiap 17.000 bayi lahir hidup, dan diperkirakan terdapat 500.000 kasus di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, EB terjadi pada 19 per 1 juta orang, 32 per 1 juta orang di Northern Ireland, dan 49 per 1 juta orang di Scotland.
Jumlah prevalensi EB di Indonesia saat ini masih belum diketahui.
Debra Indonesia per tahun 2021 berhasil mengumpulkan data sebanyak 62 pasien EB dari seluruh Indonesia.
Kelainan ini diturunkan secara genetik, yang disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kulit menjadi rapuh dan mudah sekali timbul luka.
Kelainan ini ditandai adanya lepuh serta kerapuhan pada kulit yang dapat terjadi akibat cedera ringan, cuaca panas, gesekan, garukan atau terjadi secara spontan.
Butterfly Children adalah sebutan untuk anak-anak yang menderita epidermolysis bullosa (EB), karena kondisi kulit sangat rapuh ibarat sayap kupu-kupu.
Terdapat beberapa tipe EB tergantung lokasi terjadinya mutasi gen. Pasien EB sangat rentan terhadap infeksi akibat luka yang berlangsung seumur hidup.
Pada beberapa kondisi, terjadi kelainan bentuk organ tubuh, bahkan mutilasi atau hilangnya jari-jari tangan dan kaki serta pada keadaan tertentu dapat terjadi kanker kulit.
Tujuan dari pengobatan EB adalah untuk mengurangi gejala, mencegah kerusakan kulit dan organ lain, mencegah terjadinya berbagai komplikasi seperti infeksi dan lain-lain.
Perawatan kulit mencakup edukasi agar tidak terbentuk lepuh, menghindari gesekan pada kulit, menghindari penggunaan pakaian serta sepatu yang sempit atau bahan yang kasar, suhu lingkungan diusahakan agar cukup sejuk, anak ditidurkan di tempat tidur dengan alas yang lembut.
Bila terjadi lepuh, tatalaksana mencakup kebersihan kulit agar terhindar dari infeksi, perawatan luka dengan menggunakan dressing, obat-obatan oles serta pelembab yang sesuai dengan kondisi kulit.
Baca juga: Kulit Wajah Nampak Sehat di Usia 20-an Tahun, Stop Kebiasaan Ini Sekarang Juga
Sebagian besar pasien EB memiliki permasalahan gizi/nutrisi, yang sangat berperan penting dalam keberhasilan penyembuhan luka sehingga diperlukan penanganan secara komprehensif dari ahli gizi, termasuk juga tatalaksana bedah dan fisioterapi yang mungkin diperlukan setelah penyembuhan akibat kelainan bentuk organ tubuh yang akan menyebabkan terjadi gangguan gerak.
Pada umumnya, berbagai gejala akan menyebabkan pasien mengalami kesulitan melakukan aktivitas dan bersosialisasi dengan lingkungan sehingga terapi psikologis dan dukungan dari keluarga serta orang sekitar sangat penting.
Dr.dr. Niken Trisnowati, MSc, SpKK(K), FINSDV, FAADV mengatakan, epidermolisis bulosa (EB) adalah penyakit kulit yang diturunkan, ditandai oleh rapuhnya kulit terhadap trauma mekanik (gesekan, panas) dengan gejala berupa lepuh, luka, jaringan parut, dan lainnya.
Kelainan klinis lain yang dapat terjadi berupa penyempitan di saluran cerna dan napas, kurang darah, gangguan tumbuh kembang dan kanker kulit.
"Penyebab EB adalah mutasi gen yang menyusun struktur kulit sedang untuk jenis EB dikategorikan menjadi 4 tipe, yaitu EB simpleks, EB junctional, EB distrofik dan sindroma Kindler," katanya.
Penatalaksanaan EB, kata dia, bersifat suportif dengan tujuan pengobatan luka, pencegahan terjadinya trauma mekanik, pencegahan infeksi dan mengatasi komplikasi yang terjadi.
dr Inne Arline Diana, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV, selaku salah satu narasumber topik mengenai perawatan luka pada EB, menyampaikan, prinsip perawatan luka yaitu pertama dengan melakukan penilaian luas luka, jenis luka akut dan kronis, kedalaman luka, banyaknya cairan atau tidak.
Kemudian untuk langkah perawatan luka selanjutnya adalah lesi kulit dibersihkan dengan NaCl 0.9% atau air bersih, lepuh ditusuk atau diapirasi agar cairan keluar untuk membatasi perluasan luka.
"Lalu mencegah infeksi, perawatan luka dan tatalaksana cairan dari luka menggunakan dressing disesuaikan dengan tipe luka EB dan meghindari pemakaian plester,” katanya.
Baca juga: Ada 4 Bahaya yang Mengintai dari Kebiasaan Mencabut Kulit Bibir
Baca juga: Jerawat pada Kulit: Kenali Gejala, Penyebab serta Cara Mengobati dan Mencegahnya
dr. Srie Prihianti, Sp.KK (K), Ph.D, FINSDV, FAADV, sebagai narasumber topik tentang peranan pelembab pada perawatan kulit pasien EB mengatakan bahwa pada pasien EB seringkali mengalami rasa gatal yang kronis.
Kondisi ini dapat memperburuk kelainan kulit dan penyakitnya. Salah satu penyebabnya adalah kulit yang sangat kering.
Penggunaan pelembap yang teratur dan skincare yg sesuai dapat membantu mengatasi kekeringan kulit dan mengurangi rasa gatal.
Sementara Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A (K), selaku salah satu narasumber mengatakan, malnutrisi adalah komplikasi utama yang ditemukan pada pasien EB.
Luka yang terjadi di area rongga mulut, saluran cerna bagian atas dan bawah menyebabkan keterbatasan asupan nutrisi.
Baca juga: Begini Cuci Tangan Pakai Sabun dengan Benar untuk Cegah Penularan Penyakit
Luasnya lesi kulit terbuka, menyebabkan kehilangan cairan tubuh serta meningkatkan protein turnover, kehilangan panas dan infeksi.
"Diperlukan dukungan nutrisi tinggi energi dan tinggi protein. Perhitungan kebutuhan energi mempertimbangkan luasnya lesi, derajat infeksi dan tumbuh kejar. Pemantauan akseptabilitas, toleransi dan efektifitas dukungan nutrisi dilakukan untuk memastikan tercapainya tumbuh kembang yang optimal pada pasien epidermolysis bulosa," katanya.
Meningkatkan kesadaran masyarakat luas termasuk tenaga kesehatan mengenai penyakit genetik langka Epidermolisis Bulosa (EB) dan mendukung penderitanya yang sering disebut dengan Butterfly Children, DEBRA Indonesia dengan Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI), PP PERDOSKI, dan DERM RUNNERS mengadakan Epidermolysis Bullosa Awareness Month 2021 yang dilaksanakan sepanjang bulan Oktober 2021.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Kegiatan Epidermolysis Bulosa Awareness Month menggabungkan tiga kegiatan, yaitu Edukasi secara digital, olah raga virtual sekaligus menggalang dana (virtual charity run) dan webinar untuk tenaga kesehatan,orang tua, pengasuh dan awam.
dr. Inne Arline Diana, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV, selaku Ketua Panitia EB Awareness Month 2021 sekaligus sebagai Ketua Debra Indonesia menyampaikan bahwa tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas dan tenaga kesehatan mengenai penyakit genetik langka Epidermolisis Bulosa (EB).
Baca juga: Mengenal Penyakit Langka Hipertensi Paru, Simak Gejalanya Termasuk Sesak Napas hingga Nadi Cepat
"Juga untuk menjaring lebih luas keberadaan pasien EB melalui sosialisasi kegiatan ini, serta mengumpulkan donasi untuk mendukung kegiatan Debra Indonesia dalam membantu penanganan penderita EB," katanya.
Selain itu kegiatan EB Awareness Month 2021 ini adalah kegiatan berskala nasional pertama yang dilakukan oleh Debra Indonesia.
"Kami memiliki harapan besar bahwa kegiatan ini adalah langkah awal untuk membuka pintu bagi Debra Indonesia supaya dapat mengajak masyarakat Indonesia untuk memberikan dukungan terhadap pasien EB dan keluarganya yang ada di seluruh Indonesia baik dari segi dukungan moril maupun bantuan berupa akses terhadap layanan kesehatan secara holistik sehingga pasien-pasien EB dapat memiliki hidup yang lebih berkualitas,” katanya.