Mudah Diperoleh Tanpa Resep, Dokter Ingatkan Bahaya Konsumsi Antibiotik Sembarangan
Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K) mengatakan antibiotik selama ini dapat diperoleh mudah tanpa resep dokter
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
"Di sisi lain, antibotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu perkembangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia," papar Prof. Tri.
Berdasar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan 165 persen di negara- negara berkembang pada periode 2000 hingga 2015.
Sedangkan implikasi dari AMR ini adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan, termasuk di Indonesia.
Penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies menunjukkan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 149 juta rupiah.
Sedangkan bagi pasien yang resistan, nilainya bertambah 6.000 dollar AS atau sekitar 86 juta rupiah, meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.
Prof. Tri menyampaikan, penelitian yang telah dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia menemukan bahwa masyarakat dapat membeli antibiotik tanpa resep.
Proporsinya pun dapat mencapai dua dari tiga kali kunjungan.
Temuan ini yang membuat para ahli medis khawatir aktivitas pembelian antibiotik tanpa resep ini kian meningkatkan berkembangnya AMR.
"Meskipun antibiotik lini pertama seperti amoksisilin dan kotrimoksazol adalah antibiotik yang paling banyak diberikan, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua termasuk sefalosporin juga diberikan tanpa resep," tutur Prof. Tri.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Studi Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance (PINTAR) dan telah dimuat pada BMJ Global Health itu juga menunjukan bahwa konsultasi di toko obat kerap tidak memadai.
Bahkan tidak jarang, antibiotik diberikan tanpa petunjuk penggunaan yang benar.
"Meskipun peraturan tentang penjualan antibiotik di Indonesia sudah jelas, tetapi dalam praktik, penjualan antibiotik tanpa resep ini masih banyak ditemukan di Indonesia, khususnya pada toko obat yang tidak resmi," tegas Prof. Tri.
Terkait makin bebasnya pembelian antibiotik tanpa resep dokter ini, Prof. Tri menegaskan perlunya penguatan implementasi regulasi demi mengendalikan peredaran antibiotik.
"Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik," kata Prof. Tri.