Penggunaan Antibiotik Tanpa Petunjuk Dokter Bisa Picu Infeksi Tubuh Pasien Sulit Diobati
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter telah menjadi salah satu penyumbang terbesar angka Resistensi Antimikroba.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter telah menjadi salah satu penyumbang terbesar angka Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) di dunia kesehatan.
Hal ini tentunya mendorong AMR sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
AMR ini merujuk pada kondisi saat bakteri, virus, jamur maupun parasit mengalami perubahan, sehingga tidak merespons obat-obatan.
Baca juga: Pesan Dokter: Hati-hati Minum Antibiotik bagi Pasien Covid-19
Baca juga: Dokter Ingatkan Penggunaan Antibiotik yang Bijak, Ini yang Harus Diperhatikan
Saat terjadi AMR, infeksi yang ada dalam tubuh pasien akan semakin sulit untuk diobati.
Hal ini yang akhirnya dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit bahkan kematian.
Berdasar data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan 165 persen di negara- negara berkembang pada periode 2000 hingga 2015.
Sementara implikasi dari AMR ini adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan, termasuk di Indonesia.
Temuan inilah yang akhirnya mendorong perlunya kebijakan peresepan, praktik penjualan, konsumsi antibiotik yang bijak dan rasional di Indonesia.
Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN) Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH., mengatakan bahwa berdasarkan pada data yang dimiliki WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik telah mengalami peningkatan mencapai 91 persen secara global.
"Dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165 persen. Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik," ujar Prof. Agus, dalam webinar bertajuk '#TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia', Jumat (5/11/2021).
Dalam menangani kejadian AMR ini, kata dia, prinsip pendekatan One Health yakni koordinasi, komunikasi dan kolaborasi perlu dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait (intersektoral).
"Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit," kata Prof. Agus.
Selanjutnya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan AMR ini.
Karena sama seperti pandemi virus corona (Covid-19), program-program pemerintah akan berhasil jika didukung pula oleh masyarakyat.
"Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan, yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter. Sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi," jelas Prof. Agus.
Oleh karena itu, INDOHUN menggandeng Pfizer Indonesia menggelar webinar ini sekaligus memperingati World Antibiotic Awareness Week 2021.
Kerja sama terkait gelaran webinar ini difokuskan untuk para akademisi, praktisi, klinisi, dan masyarakat umum agar semakin sadar, peduli, dan tergerak dalam berkontribusi menekan laju kasus resistensi antimikroba di Indonesia.
Keterlibatan dari berbagai pihak multisektor, baik dari sektor medis, pasien, dan pemerintah, diharapkan dapat meningkatkan pencegahan resistensi antibiotik, sehingga meningkatkan mutu kesehatan masyarakat Indonesia.
Penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies menunjukkan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar 10.400 dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 149 juta rupiah.
Sedangkan bagi pasien yang resistan, nilainya bertambah 6.000 dollar AS atau sekitar 86 juta rupiah, meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya.