Epidemiolog: Wabah yang Muncul di Dunia Cenderung Makin Parah
Seperti yang terjadi pada virus corona (Covid-19) yang telah menjadi pandemi dan kian bermutasi menjadi varian yang memiliki sifat lebih mudah menular
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa saat ini wabah-wabah yang muncul di dunia justru memiliki kecenderungan 'semakin parah'.
Seperti yang terjadi pada virus corona (Covid-19) yang telah menjadi pandemi dan kian bermutasi menjadi varian yang memiliki sifat lebih mudah menular, kebal terhadap vaksin hingga 'mematikan'.
Aspek 'makin parah' itu bukan hanya dari sifat mematikannya saja, namun juga terkait dampaknya.
"Makin ke sini, memang kecenderungannya memang makin parah wabah-wabah ini. Kita lihat saja dalam coronavirus itu, makin parah itu dari sisi dampak, bukan hanya dari sisi mematikan sebetulnya," kata Dicky, saat dihubungi Tribunnews, Rabu (8/12/2021).
Menurutnya, perpaduan antara sisi dampak dari banyaknya orang yang terinfeksi maupun kondisi pasien yang memang parah, tentu dapat membuat suatu wabah seolah menjadi mematikan.
Baca juga: Gejala Omicron, Ini Bedanya Gejala Varian Delta dengan Varian Baru Virus Corona Omicron
"Tapi kombinasi ini yang akan membuat kita khawatir, ya artinya cepat menular, juga memberikan keparahan. Kematiannya sih bisa dampak karena banyaknya orang terinfeksi atau karena memang dia (gejalanya) parah," jelas Dicky.
Hal ini yang ia kira hendak disampaikan Ilmuwan yang turut mengembangkan vaksin Oxford-AstraZeneca, Sarah Gilbert terkait prediksi akan munculnya pandemi mematikan setelah Covid-19.
Dicky menilai Gilbert tengah membahas wabah yang memiliki sifat cepat menular dan mengindikasikan bahwa penyakit itu dapat ditularkan melalui dua metode, yakni udara dan cairan tubuh.
"Nah ini yang dimaksud Sarah Gilbert itu adalah penyakitnya ini cepat menular. Dan kalau cepat menular, biasanya dutularkan melalui udara, itu yang paling cepat, termasuk cairan tubuh," papar Dicky.
Kemudian wabah itu mungkin saja memiliki masa inkubasi yang agak lama dan tidak menunjukkan gejala sehingga penderitanya bisa saja tidak mengetahui atau telat menyadari bahwa ia sedang tertular wabah tersebut.
Faktor inilah yang ia anggap dapat membuat wabah itu berdampak parah bagi penderitanya.
"Masa inkubasinya ini (mungkin saja) ada masa yang nggak bergejala, itu yang bikin sangat mengkhawatirkan, kuat dan menakutkan," tutur Dicky.
Mirisnya, saaat gejala yang ditunjukkan ternyata lebih cepat muncul dan cenderung parah, tentunya akan memerlukan perawatan intensif di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).
Namun kondisi seperti ini dapat membuat fasyankes langsung mengalami krisis dan collapse, lantaran membludaknya pasien dalam satu waktu.
Sehingga efek mematikan pun bisa saja terjadi karena beban fasyankes yang berat dan tidak sesuai dengan jumlah pasien yang harus dirawat inap.
Dicky menyebut wabah mematikan seperti ini kemungkinan akan muncul paling cepat 25 tahun mendatang.
"Dan ketika sudah bergejala cepat dan parah, akhirnya karena beban faskes, maka akan banyak kematian. Prediksinya seperti itu, setidaknya paling cepat 25 tahun ke depan, makanya harus siap dari sekarang," pungkas Dicky.