Bagaimana Dampak Spirit Doll pada Kesehatan Mental? Berikut Pandangan Psikolog
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi UNAIR) itu menyebut tindakan tersebut telah mengarah kepada perilaku yang tidak wajar.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren kepemilikan spirit doll atau boneka arwah cukup menyita perhatian publik. Pemilik spirit doll tak segan untuk merawat bonekanya layaknya seorang bayi.
Psikolog Nurul Hartini melihat fenomena tersebut sebagai hal yang perlu menjadi perhatian.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi UNAIR) itu menyebut tindakan tersebut telah mengarah kepada perilaku yang tidak wajar.
“Ketika seseorang menganggap boneka tersebut hidup dan percaya bahwa mereka akan bertumbuh besar, maka hal itu telah keluar dari batas akal sehat. Perilaku tersebut menjadi keanehan tersendiri yang disebabkan oleh berbagai faktor,” tutur Prof. Nurul.
Salah satu faktor yang mungkin ada yakni mengikuti tren di kalangan selebritis.
Baca juga: Tren Spirit Doll dari Kacamata Psikologi, Wajarkah Jika Orang Dewasa Memilikinya?
Bisa jadi mereka hanya mencari sensasi agar popularitasnya naik.
Meskipun demikian, segala sesuatu tetap ada batasnya agar justru tidak merugikan kesehatan mental.
“Karena apabila perilaku tersebut dibiarkan terjadi secara terus-menerus, maka akan berdampak terhadap kondisi kesehatan mental seseorang. Jika ketidakwajaran itu tidak segera dihentikan, maka berisiko pada keadaan psikopatologinya (ketidakstabilan fungsi kejiwaan yang meliputi indera, kognisi, dan emosi). Segala kondisi berisiko harus ditangani sedini mungkin agar tidak semakin sulit untuk mengembalikan kepada kondisi yang rasional dan realistis,” jelas Prof. Nurul
Lebih lanjut, bagi sebagian orang boneka dapat menjadi strategi pemulihan mental (coping stress, Red).
Misalnya ketika seseorang pernah kehilangan anaknya, maka boneka dapat menjadi terapi psikologis bagi mereka.
Baca juga: Psikolog: Pemilik Spirit Doll Harus Waspada Saat Mulai Tak Bisa Berinteraksi di Kehidupan Sosialnya
"Karena secara psikologis juga boneka bisa menjadi sarana penyegaran pikiran bagi individu selama tidak berlebihan dan harus tetap di bawah pendampingan dari psikolog atau psikiater,” ungkap Prof. Nurul.
Akan tetapi terlepas dari manfaat tersebut, sejatinya boneka hanyalah benda mati.
Mereka hanya menjadi perangkat yang tidak memiliki hal-hal khusus, kecuali hanya pengaruh dari perlakuan sang pemilik.
Ketika kita memperlakukan boneka secara spesial, maka Prof. Nurul mengimbau agar mencari tahu alasannya. Apabila hanya mengarahkan kepada perilaku negatif yang melampaui batas kewajaran, maka harus segera dihentikan agar tidak terjebak pada situasi yang kurang sehat, baik secara psikologis maupun mental.
Sebagai orang yang mungkin dekat dengan individu yang berperilaku di luar batas tersebut, tentu memiliki kewajiban untuk membantu mereka.
Prof. Nurul menyarankan agar terlebih dahulu menanyakan penyebab mereka untuk bertindak demikian.
“Selagi jawabannya masih rasional, ya tidak apa-apa,” lanjutnya.
Lain halnya saat orang tersebut benar-benar menganggap boneka tersebut hidup, maka perilaku mereka mulai mengkhawatirkan dan perlu mengarahkan mereka untuk datang ke psikolog atau psikiater.
“Kuncinya adalah rasional, realistis, dan proporsional. Selama tiga hal itu terpenuhi, maka kita senantiasa objektif dalam memikirkan, merasakan, dan melakukan segala hal,” ungkap dosen yang juga anggota Ikatan Psikologi Klinis Indonesia tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.