Cerita Perjuangan Penderita Tuberkolosis Resisten Obat untuk Sembuh
Ketika seseorang mengalami resistensi obat antibiotik, maka akan sulit untuk pulih dari penyakit yang diidapnya. Bahkan berisiko kehilangan nyawa.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
"Saya juga berubah menjadi orang yang lebih suka menutup diri dan menjauh dari orang lain. Karena label “menularkan” masih sangat kencang. Yang membuat saya bertahan hanyalah keluarga dan juga teman-teman sesama pasien. Karena untuk saya, hanya mereka yang bisa memahami kondisi saya," paparnya lagi.
Stigma dan diskriminasi masih sangat lekat pada penyandang ataupun penyintas TBC. Ini membuat Paran bersama teman-teman penyintas lain sulit mendapatkan pekerjaan.
Padahal pada saat itu umurnya Terhitung masih muda. Dan, ada dalam usia produktif yang seharusnya bisa bekerja untuk kehidupan dan menjadi tulang punggung dari keluarga.
"Setelah selesai pengobatan pun, masih ada yang tersisa. Menjalani kehidupan yang normal setelah sembuh juga menjadi tantangan besar bagi saya. Saya merasa rendah diri, merasa berbeda, dan selalu merasa khawatir jika ada yang tahu saya pernah menderita TBC," kata Paran lagi.
Namun kini, apa yang dirasakan oleh Paran mulai sedikit berkurang ketika dirinya bergabung dengan organisasi penyintas TBC RO, PETA (Pejuang Tangguh). Di sini dirinya merasa punya teman sependeritaan.
Saat ini Paran telah bekerja sebagai Case Manager untuk TBC RO di salah satu rumah sakit.
Dirinya juga bergabung dengan komunitas paralegal yang mengadvokasi teman-teman penyandang TBC RO yang mengalami stigma, diskriminasi dan juga perlakuan tidak menyenangkan karena kondisinya.
"Hari ini, saya berdiri di sini untuk berbagi cerita supaya orang tahu lebih banyak lagi betapa dampak dari resistensi antimikroba sangat mempengaruhi perjalanan hidup seseorang. Dan saya sangat berharap tidak ada lagi yang harus menjalani apa yang saya alami," tutupnya.