Diskrepansi Data Kesehatan Dinilai Hambat Implementasi Kebijakan Strategis
Pengamat bicara soal penghimpunan data kementerian dan lembaga negara yang kerap berbeda sehingga menimbulkan kebingungan publik.
Penulis: Reza Deni
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah, Nur Rohim Yunus bicara soal penghimpunan data kementerian dan lembaga negara yang kerap berbeda sehingga menimbulkan kebingungan publik.
Situasi yang umum disebut diskrepansi ini, menurutnya, punya potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.
Multitafsir terhadap data yang berbeda-beda disebut akan memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif.
Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes.
Baca juga: Kemenkes Ungkap 12.553 Anak Usia di Bawah 14 Tahun Berstatus Terinfeksi HIV
Sebaliknya, Kemenkes melulu menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Menurut Nur Rohim, diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data.
Namun, menurutnya, dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.
“Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya di Kementerian Kesehatan,” kata Nur Rohim dalam keterangannya, Rabu (30/11/2022).
Menurut dia, Kemenkes semestinya merujuk pada data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara seperti diwajibkan oleh Undang-undang.
Namun, dia mengamati bahwa Kemenkes justru mengambil data dari lembaga asing sebagi rujukan.
"Ini malah memperparah diskrepansi data yang ada, selain juga memunculkan kesan bahwa BPS terpinggirkan oleh lembaga asing," kata dia.
Dia melanjutkan, pemerintah sejatinya juga telah berupaya mengentaskan tantangan diskrepansi data antar kementerian/lembaga ini via penerbitan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI).