Diskrepansi Data Kesehatan Dinilai Hambat Implementasi Kebijakan Strategis
Pengamat bicara soal penghimpunan data kementerian dan lembaga negara yang kerap berbeda sehingga menimbulkan kebingungan publik.
Penulis: Reza Deni
Editor: Endra Kurniawan
Beleid ini mendorong kementerian/lembaga sebagai produsen data untuk mengacu standar data yang disusun BPS. BPS juga perlu menjadi leading sector untuk mewujudkan data statistik yang berkualitas sebagai basis referensi kebijakan pemerintah.
“Perlu adanya upaya mewujudkan Visi Satu Data Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 39 Tahun 2019," katanya.
"Bila visi SDI ini dapat terwujud dengan baik, maka tidak akan terjadi lagi diskrepansi karena data yang diambil oleh berbagai pihak berdasarkan pada sumber yang sama. Tentunya data yang dirujuk harus akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan,” kata dia.
Baca juga: Kemenkes Izinkan Lansia Diberikan Vaksin Covid-19 Dosis ke-4
Terpisah, Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora menjelaskan alasan hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda.
Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data.
“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” kata Ahmad.
Ahmad menambahkan perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda.
Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, dimana terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.