58 Juta Burung Mati, Amerika Galau, Bisakah Vaksinasi Hentikan Flu Burung?
Strain flu burung (H5N1) yang sangat mematikan telah membunuh lebih dari 58 juta burung di Amerika Serikat (AS) sejak Januari 2022.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Strain flu burung (H5N1) yang sangat mematikan telah membunuh lebih dari 58 juta burung di Amerika Serikat (AS) sejak Januari 2022.
Namun hewan itu bukan mati karena penyakit, ini sebagian besar merupakan kawanan unggas yang disembelih oleh petani Amerika untuk mencegah penyebaran virus bahkan setelah satu unggas yang terinfeksi ditemukan.
Baca juga: Wabah Flu Burung di India, Negara Bagian Jharkhand Musnahkan Hampir 4.000 Ayam dan Bebek
Namun langkah-langkah drastis itu gagal menghentikan kehancuran.
Vaksinasi burung peliharaan dapat memberikan garis pertahanan baru.
Dikutip dari laman Mint, Senin (27/2/2023), dunia telah memiliki vaksin yang tersedia untuk membantu menghentikan penyebaran virus, setidaknya sejak 2003.
Baca juga: WHO Keluarkan Peringatan Kewaspadaan di Tengah Peningkatan Kasus Flu Burung di Kamboja
Penggunaannya di negara lain, terutama di Asia, telah terbukti efektif menghentikan wabah.
Gelombang penyakit terbaru telah mendorong lebih banyak negara untuk bergerak ke arah 'memvaksinasi ternak mereka'.
Namun terlepas dari banyaknya korban jiwa, kerugian finansial pada petani dan melonjaknya harga telur serta produk konsumen terkait unggas lainnya, membuat AS terus berada dalam kebimbangan tentang pro dan kontra.
Perhatian utama saat ini adalah bahwa vaksinasi dapat menghambat ekspor unggas AS ke negara lain karena khawatir pengiriman unggas yang divaksinasi mungkin mengandung infeksi tersembunyi.
Apa yang dikenal sebagai flu burung atau Avian Influenza A (H5N1) yang sangat patogen, kali pertama muncul di peternakan Hong Kong dan pasar unggas pada 1997, dan akhirnya menyebar ke manusia, menewaskan 6 dari 18 orang yang tertular.
Hong Kong meresponsnya dengan memusnahkan setiap satu dari 1,5 juta ayam yang terletak di peternakan komersial kota itu dan di pasar unggas lokal.
Itu adalah 'langkah yang mahal', baik dari segi nyawa maupun uang, namun ternyata berhasil menghentikan wabah.
Untuk mengurangi risiko wabah di masa mendatang, Hong Kong pun berhasil menerapkan langkah-langkah kebersihan, biosekuriti dan pengawasan virus yang baru.
Namun pada 2001, virus yang disebarkan oleh burung liar mulai muncul kembali di pasar.
"Jadi saat itulah saya mulai melihat vaksinasi, saya harus memiliki tingkat perlindungan ekstra," kata Dr. Leslie Sims, yang merancang pengendalian flu burung Hong Kong setelah wabah 1997.
Baca juga: Minta Dilakukan Vaksinasi H5N1 Jika Penularan Flu Burung Terjadi Antar Manusia
Hong Kong melakukan uji coba vaksinasi pada 2002 dan menetapkan bahwa vaksinasi tersebut efektif untuk melindungi ayam dari infeksi dan menghentikan penularannya.
Pada 2003, kota tersebut mewajibkan vaksinasi di semua peternakan unggas yang memasok ke Hong Kong.
lebih dari 30 negara telah mengadopsi vaksinasi flu burung untuk unggas.
Keberhasilan telah dicatat dan lebih dari sekadar menghilangkan ancaman terhadap ayam.
Di China, negara yang paling banyak menerapkan vaksinasi, penelitian mengungkapkan bahwa penurunan infeksi unggas juga mengurangi infeksi pada manusia.
Kendati demikian, hingga wabah terbaru, sebagian besar negara terutama pengekspor unggas masih merasa 'ragu untuk mengadopsi upaya vaksinasi' ini.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebabnya, pertama, vaksin menjadi kurang efektif dari waktu ke waktu karena mutasi pada virus.
Misalnya, di Mesir para peneliti menemukan bahwa galur vaksin tidak lagi cocok dengan galur yang beredar.
Vaksin yang kurang efektif tersebut dapat memberi negara rasa aman yang salah, terutama ketika intervensi lain, seperti tindakan biosekuriti dan pengawasan tidak diterapkan juga.
Kedua, banyak ilmuwan dan regulator khawatir bahwa apa yang disebut 'infeksi tersembunyi' mungkin tetap ada di antara unggas yang divaksinasi dan lolos dari jaring pengaman serta kontrol perbatasan.
Baca juga: Asosiasi Perunggasan: Industri Unggas Sedang Tidak Baik-baik Saja
Itulah alasan utama industri unggas AS dan Departemen Pertanian AS menolak mengadopsi vaksin, karena takut membahayakan produk unggas dan telur senilai 6 miliar dolar AS yang diekspor AS pada 2022, namun tentangan itu tidak mutlak.
Saat biaya naik, petani mengevaluasi kembali biaya dan manfaat.
Misalnya, pada 2015, USDA menimbun ratusan juta dosis vaksin karena wabah flu burung AS terburuk yang pernah terjadi menimbulkan kematian padaebih dari 50 juta ayam dan kalkun.
Vaksin itu tidak pernah digunakan , wabahnya hilang sebelum vaksin disahkan.
Wabah 2022 dan 2023 yang sedang berlangsung bahkan jauh lebih buruk, akibatnya, banyak negara yang enggan mempertimbangkan kembali vaksinasi flu burung.
Di Eropa, Prancis, Belanda, Hongaria dan Italia saat ini sedang menguji vaksin dan kemungkinan akan mulai memvaksinasi pada musim gugur.
Bulan ini, Komisi Eropa menyepakati aturan yang diselaraskan untuk vaksinasi, termasuk aturan pengawasan dan biosekuriti yang akan mendeteksi jika ada infeksi pada ternak yang divaksinasi.
Aturan tersebut dirancang untuk memungkinkan perdagangan unggas yang divaksinasi di antara negara-negara Uni Eropa (UE).
Sementara itu, Prancis sedang melakukan pembicaraan dengan mitra dagang non-UE untuk mengizinkan perdagangan unggas yang divaksinasi.
Saat ini AS harus melangkah.
Awal bulan ini, CBS News melaporkan bahwa para ilmuwan pemerintah federal AS 'bersiap' untuk menguji vaksin flu burung pada unggas AS.
Tidak ada batas waktu yang diumumkan, namun hal itu seharusnya tidak menghentikan regulator untuk membuat pedoman pengawasan untuk meyakinkan mitra dagang.
Sementara itu, pemerintahan Presiden AS Joe Biden harus mengikuti jejak Prancis, menjangkau mitra dagang dan memulai proses menyusun pedoman perdagangan unggas yang divaksinasi.