Kuasa Hukum Korban Gagal Ginjal Akut pada Anak Sindir Menkes dan Mensos Tak Pahami Perasaan Korban
Tim kuasa hukum korban Gagal Ginjal Akut Pada Anak (GGAPA) Tegar sindir Menteri Kesehatan dan Sosial yang tidak bisa memahami perasaan korban GGAPA.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum korban Gagal Ginjal Akut Pada Anak (GGAPA) Tegar Putu Hena sindir Menteri Kesehatan dan Menteri Sosial yang tidak bisa memahami perasaan korban GGAPA.
"Saya hanya ingin menghimbau kepada bapak ibu menteri pembantu Pak Jokowi, Bu Risma maupun Menkes, saya himbau supaya mereka menggunakan hati nurani dan menggunakan empatinya, karena saya melihat hal itu sepertinya tidak digunakan," kata Tegar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).
Tegar melanjutkan bahwa kedua menteri tersebut tidak mengunakan nurani dan empati.
Hal itu dikarenakan keduanya sama sekali tidak mengerti perasaan korban.
"Mereka sama sekali tidak mau melihat kepada para korban, mereka sama sekali tidak mau mendengarkan suara korban," sambungnya.
Menurut Tegar Menteri Sosial sampai hari ini tidak pernah mengunjungi korban, sama sekali.
"Sekarang bilang tidak punya uang, tapi mengunjungi korban saja yang anak-anaknya lumpuh tidak berdaya pun tidak dilakukan sama sekali," kata Tegar.
Tegar menyebut bahwa Mensos dan Menkes perlu diperiksa hari nuraninya.
"Jadi tanggapan melihat hal ini menurut kami pembantu-pembantu Pak Jokowi perlu diperiksa untuk hati nurani dan rasa empatinya, jangan-jangan sudah nggak punya," tutupnya.
Selain itu Tegar Putu Hena klaim bahwa sampai saat ini korban GGAPA belum pernah mendapat bantuan santunan dari pemerintah.
"Jadi mengenai soal ini (Bantuan) tanggal 2 November 2022 itu ada kesepakan antara menteri kesehatan dengan DPR RI komisi IX. Apa isi kesepakatan itu? Salah satunya adalah Menteri Kesehatan menyanggupi untuk membayar santunan kepada seluruh korban gagal ginjal akut," kata Tegar kepada awak media di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2023).
"Sampai hari saya bisa pastikan bahwa santunan itu sama sekali tidak ada. Seluruh korban yang kami dampingi tidak pernah sedikitpun," sambungnya.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Korban Gagal Ginjal Akut Bakal Koordinasi Komnas HAM dan LPSK Minta Perlindungan
Tegar melanjutkan bahwa pihaknya mendengar ada informasi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy meminta Kemensos mengalokasikan santunan kepada para korban.
"Tetapi ada surat yang beredar kami terima 25 Maret kemarin, isinya menteri bilang itu ditandatangani sendiri oleh menteri Risma mengungkapkan bahwa tidak ada anggaran untuk menyatuni korban-korban yang meninggal dunia karena keracunan obat. Sebab mengkonsumsi obat yang beredar legal mendapatkan izin dari negara," tegasnya.
Adapun sebelumnya Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyebutkan bahwa anggaran santunan korban gagal ginjal akut tidak ada di kementerian yang dipimpinnya.
Risma menyebutkan Kemensos tidak punya anggaran untuk berikan santunan korban gagal ginjal akut yang masih dirawat hingga sudah meninggal.
Risma menyebutkan dana untuk santunan korban gagal ginjal akut tidaklah sedikit.
"Kami tidak ada anggarannya. Uang dari mana anggarannya kalau itu nanti harus cuci darah itu kan enggak hanya sekali harus berkali-kali, uang dari mana kami berat biayanya," kata Risma saat ditemui di Gedung Kemensos, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023) malam.
Baca juga: Konsumsi Minuman Manis dan Berwarna Secara Berlebihan Dapat Turunkan Fungsi Ginjal
Risma menyebutkan bahwa hal itu dikarenakan telah dikoordinasikan dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy.
"Makanya kemarin saya sudah matur ke Pak Menko PMK, 'Pak, kami enggak ada uang'. Kalau (santunan) dikasih satu kali, terus dia cuci ginjal, terus dari mana duitnya begitu. Jadi kami tidak ada anggaran untuk itu," ujar Risma.
Mantan Walikota Surabaya itu menyebutkan anggaran di balai-balai Kemensos turun Rp 300 milliar, bencana turun 50 persen.
"Makanya saya itu harus hati-hati sekali gunakan ini. Karena di balai itu beda dengan beberapa tahun lalu. Setelah saya balai itu benar-benar tempat untuk rehabilitasi, ada ODGJ, orang terlantar, anak terlantar, anak-anak bermasalah dengan hukum, itu benar-benar dan jumlahnya banyak," jelasnya.
Risma melanjutkan ODGJ di balai Kemensos itu banyak, anak- sakit yang harus dirawat di Jakarta.
"Saya kan harus hitung supaya nanti satu tahun anggaran itu cukup," tutupnya.