Deretan Kontroversi RUU Kesehatan yang Ramai Ditolak Dokter, Tenaga Kesehatan hingga Ormas
Tembakau dengan narkotika dan psikotropika masuk dalam satu kelompok zat adiktif pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibuslaw Kesehatan atau RUU Kesehatan yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI pada tahun 2023 mendapat penolakan.
Mulai dari dokter, tenaga kesehatan (nakes) hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) menolak RUU Kesehatan yang menuai kontroversi tersebut.
RUU itu dianggap mengancam UU profesi medis yang sudah ada yakni UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan.
Baca juga: Ada Demo Tolak RUU Kesehatan, Dokter dan Nakes Diminta Prioritaskan Pasien
Berikut Tribunnews.com rangkum sejumlah kontroversi RUU Kesehatan yang mendapatkan penolakan:
Kepastian Hukum Bagi Nakes
Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PP Peraboi) meminta DPR meninjau ulang beberapa poin penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
Baca juga: DPR Desak Pemerintah Cabut Pasal Tembakau Kategori Narkoba di RUU Kesehatan
Ketua Umum PP Peraboi dr. Walta Gautama, SpB.Subsp.Onk.(K), menilai dalam RUU Kesehatan ada beberapa hal yang akan berisiko secara langsung dan tidak langsung terhadap pelayanan dokter kepada pasien.
PP Peraboi menilai hal lain yang menimbulkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan adalah belum adanya kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya.
Dalam beberapa pasal memang dinyatakan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum, tetapi masih ada peluang para dokter akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam DIM RUU Omnibus Law Kesehatan.
Menurut Walta, hal ini akan berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine, yang pada akhirnya juga akan merugikan pasien.
Di sisi lain, Walta juga menyampaikan bahwa pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan.
Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan.
"Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam pasal 283 RUU Omnibus Law Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine," tutur Walta.
"PP Peraboi menilai hal ini akan menurunkan kualitas pelayanan kanker dan akhirnya malah merugikan pasien kanker," tambah Walta.