Konsumsi Sumber Protein Hewani seperti Susu dan Produk Olahannya Masih Rendah
saat ini pemenuhan kebutuhan susu menjadi masalah fundamental dalam pemberian gizi anak usia dini karena tingkat konsumsi susu masih rendah.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemenuhan hak gizi anak usia dini di masa 1000 hari kelahirannya atau hingga anak berusia 2 tahun menjadi salah satu fokus utama dalam upaya membentuk generasi anak Indonesia yang berilmu, beriman, bertaqwa, dan berkarakter.
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program dan kebijakan yang bertujuan untuk memastikan bahwa setiap anak-anak mendapatkan gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal.
"Pendekatan holistik yang menggabungkan aspek gizi, pendidikan, nilai-nilai keagamaan, dan karakter, harapannya adalah menciptakan generasi penerus yang kuat, berintegritas, dan berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa," kata Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI), Dr Betti Nuraini MM saat talkshow Pemenuhan Hak Gizi AUD Jadikan Generasi Anak Indonesia yg Berilmu Beriman Bertaqwa Berkarakter di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Namun saat ini pemenuhan kebutuhan susu menjadi masalah fundamental dalam pemberian gizi anak usia dini karena tingkat konsumsi susu masih rendah.
Bahkan ini menjadi perhatian Menteri Kesehatan Budi Sadikin yang menyebutkan, konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia sudah di atas standar nasional, yaitu 62,2 gram dari standar nasional 57 gram.
"Tetapi konsumsi sumber protein hewani, salah satunya susu dan produk olahannya, masih rendah padahal konsumsi susu dapat meningkatkan kecukupan gizi karena mengandung protein, kalsium, serta vitamin dan mineral yang banyak dibutuhkan tubuh serta dapat memperkuat sistem imunitas," katanya.
Baca juga: Kapan Waktu Usia yang Tepat Cabut Gigi Susu Anak? Ini Penjelasan Dokter
Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesa, Arif Hidayat menjelaskan, masih banyak orang tua yang salah persepsi dalam memilih jenis asupan gizi seperti dalam hal pemilihan susu untuk anak.
Dalam hal ini pemerintah sudah mengambil langkah dengan membuat peraturan pada label himbauan tidak untuk bayi pada kemasan produk kental manis.
“Masih banyak hingga detik ini orang tua yang memberikan kental manis pada anaknya setiap hari bahkan bisa 3 botol 4 botol setiap hari karena mereka menganggap itu sebagai susu," katanya.
Padahal kandungan kental manis terbesarnya itu adalah gula ada 45 persen sukrosa 50 persen glukosa dan kandungan lainnya itu bulat dan kami selalu menyebut SKM itu bukan susu tapi sebagai kental manis sebagai krimer sebagai topping makanan.
“Pada anak usia dari satu sampai tiga tahun setelah itu sangat tidak dianjurkan untuk diberikan kental manis bahkan pemerintah secara tegas dalam label kemasan yang ada sekarang," kata Arif Hidayat.