Pemerintah Diminta Untuk Memperbesar Anggaran Infrastruktur
Pemerintah diminta untuk berani menaikkan target defisit anggaran 2018 menjadi sekitar 2,5-2,6 persen untuk memperbesar anggaran infrastruktur.
Editor: Content Writer
Pemerintah diminta untuk berani menaikkan target defisit anggaran 2018 menjadi sekitar 2,5-2,6 persen untuk memperbesar anggaran infrastruktur. Bertambahnya belanja negara diharapkan mampu menekan angka pengangguran dan kemiskinantahun depan.
"Defisit masih bisa diperlebar lagi. Selama masih di bawah tiga persen, masih aman," kata Ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono saat diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, akhir pekan lalu.
Dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018, defisit anggaran ditargetkan Rp325,9 triliun atau 2,19 persen terhadap PDB.
Anggaran infrastruktur sendiri dialokasikan Rp409 triliun yang terdiri dari infrastruktur ekonomi sebesar Rp395,1 triliun, infrastruktur sosial Rp9 triliun dan dukungan infrastruktur Rp4,9 triliun. Belanja sektor infrastruktur, kata dia, efektif menyerap tenaga kerja.
Menurut dia, negara berkembang cenderung tumbuh secara cepat. Akibatnya, ketimpangan ekonomi cenderung tinggi.
Ketimpangan di Indonesia, ia melanjutkan, makin buruk setelah krisis 2008 akibat subprime mortgage. Harga sejumlah komoditas yang naik berdampak pada penambahan kekayaan sekelompok orang. Akibatnya, ketimpangan makin besar.
Dia menegaskan, pemerintah mesti melakukan intervensi dengan target jangka pendek maupun jangka panjang. Mengatasi ketimpangan dalam jangka pendek caranya dengan memperluas lapangan kerja. Sedangkan, program jangka panjang dapat dilakukan di antaranya dengan memangkas biaya logistrik dan distribusi serta efisiensi.
Menteri PPN/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan target defisit tidak menutup kemungkinan untuk dinaikkan. Namun, dia melanjutkan, pemerintah tetap harus mempertimbangkan rasio utang.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, pendapatan negara dipatok sebesar Rp1.878,4 triliun. Penerimaan perpajakan dialokasikankan sebesar Rp1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp267,9 triliun.
Sementara itu, belanja negara direncanakan sebesar Rp2.204,4 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.443,3 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp761,1 triliun.
Kemiskinan dan ketimpangan turun
Pemerintah menargetkan angka kemiskinan turun hingga 10 persen dan ketimpangan menjadi 0,37-0,38 tahun depan. Untuk itu, pemerintah menjalankan sejumlah strategi untuk bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan data Kementerian PPN/ Bappenas per Maret 2017, tingkat pengangguran terbuka 5,4 persen dan ditargetkan turun pada 2018 menjadi 5,0-5,3 persen. Angka kemiskinan per Maret 2017 adalah 10, 64 persen dan ditargetkan turun menjadi 10 persen tahun depan.
Sedangkan, gini rasio tercatat 0,39 dan ditargetkan turun menjadi 0,38 pada 2018. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah 70,79 dan tahun depan ditargetkan meningkat menjadi 71,5.
Bambang Brodjonegoro mengatakan, tingkat pengangguran terbuka tahun ini sebesar 5,33 persen atau sejumlah 7,14 juta orang merupakan yang terendah sejak krisis moneter 1998. Pada 1998, tingkat pengangguran terbuka adalah 7,47 persen. Sedangkan, pada 2006 tingkat pengangguran terbuka mencapai puncaknya yakni sebesar 10,45 persen.
Selain itu, angka kemiskinan tahun ini sebesar 10, 64 persen atau sejumlah 27, 77 juta orang, merupakan yang terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Pada tahun 70-an, angka kemiskinan sebesar 60 persen. Sementara, pada saat krisis moneter 1998, angka kemiskinan sebesar 20 persen.
“Kesejahteraan terus meningkat namun masih ada persoalan bagi penduduk miskin. Negara berupaya mengeluarkan masyarakat dari kondisi kemiskinan ekstrim,” katanya
Bambang mengatakan, gini rasio sebagai indikator ketimpangan menunjukkan pengurangan meski terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir. “Pengurangan gini rasio karena ada program pemerintah yang serius untuk mengurangi ketimpangan,” katanya.
Ketimpangan cenderung naik, kata dia, ketika pertumbuhan ekonomi tinggi. Selama 2004-2012, Bambang melanjutkan, harga komoditas mengalami kenaikan (commodity boom) tetapi ketimpangan semakin besar.
Ketimpangan menurun pada krisis ekonomi Asia dan meningkat kembali pada tahun 2000-an saat ekonomi makin pulih. Pada 2015, ketimpangan cenderung turun meskipun secara lambat.
"Growth belum diikuti pemerataan ekonomi,berbisnis, dan kesejahteraan. Maka dari itu, pemerintah harus lebih berfokus untuk menurunkan ketimpangan,” katanya.