Konsep Muslim Friendly Danau Toba Tarik Perhatian Peserta Workshop Belanja-Kuliner
Workshop pengembangan wisata belanja dan kuliner Danau Toba yang dilakukan Kementerian Pariwisata mendapat respons luar biasa. Apalagi, saat diskusi m
Editor: Content Writer
Workshop pengembangan wisata belanja dan kuliner Danau Toba yang dilakukan Kementerian Pariwisata mendapat respons luar biasa. Apalagi, saat diskusi membahas konsep muslim friendly. Para peserta sangat antusias membahasnya.
Workshop Wisata Kuliner dan Belanja dalam rangka Pemberian Dukungan Prioritas Nasional: Perintisan Destinasi Pariwisata Prioritas Pengembangan Destinasi Pariwisata Nasional Toba, digelar di Hotel Esther, Siborong-Borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Kamis (11/7).
Agar tidak ada kesalahpahaman mengenai konsep ini, Kemenpar menghadirkan Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena. Ia membahas mengenai sosialisasi sertifikasi halal untuk Usaha Rumah Makan, Restoran dan Produk Oleh-Oleh.
Osmena menjelaskan konsep halal bukan hanya mengenai muslim semata. Menurutnya, halal dalam LPPOM MUI berarti juga sehat. Dan berkaitan pula dengan bisnis.
“Halal itu bicara sehat. Berkaitan juga dengan bisnis. Indonesia termasuk pelopor. Dan banyak negara sudah menjalankan hal itu, seperti Perancis yang punya supermarket halal. Jangan sampai halal ini juga diakui negara lain,” terangnya.
Dijelaskan Osmena, jika makanan sudah ada cap halal, siapa pun bisa memakannya. Karena sudah dijamin sehat. Baik secara pengelolaan maupun bahan yang digunakan.
“Kalau sudah ada label halal wisatawan tidak perlu bawa makanan sendiri. Dan ini bisa menjadi bisnis kuliner buat di destinasi seperti di Danau Toba. Kalau wisatawan bawa makanan sendiri dari negaranya kan repot. Biayanya mahal. Sedangkan kalau ada label halal, mereka tidak perlu bawa makanan,” papar Osmena.
Dijelaskannya, sosialisasi yang dilakukan harus mengena ke permasalahan. Jadi informasi yang diterima tidak keliru. Osmena pun berharap pengelola kuliner di destinasi bisa jujur dan fair.
“Kalau memang makanan yang disediakan tidak halal, ditulis juga gak apa-apa. Kalo muslim masuk, salah dia sendiri. Contohnya minuman keras. Buat muslim itu tidak halal. Tapi kalau individunya minum, ya salah dia sendiri. Itukan fair namanya. Sekarang, negara non muslim pun menyediakan label halal. Atau makanan halal. Seperti Vietnam, Thailand dan Jepang . Kenapa? Karena mereka cari duit. Itu masalah bisnis. Daripada wisatawan bawa makanan sendiri, lebih baik destinasi menyediakan. Kan jadi pemasukan. Ini sudah dilakukan juga di banyak negara Eropa,” katanya.
Osmena memberikan contoh lain yang berkaitan dengan halal atau muslim friendly. Menurutnya sapi atau ayam yang dikonsumsi muslim jiga bisa menjadi makanan haram jika pengolahannya tidak tepat.
“Dan jika sapi dipotong tidak sesuai standar, tetap dia dibilang haram. Ayam juga begitu. Jadi ada tata cara. Jika tidak sesuai maka dia disebut bangkai. Dan bangkai itu diharamkan juga. Makanya halal itu proses. Jika sudah dapat sertifikasi halal, siapa pun bisa memakannya. Karena dia diolah dengan sehat. Sesuai standar. Dan higienis,” terangnya.
Lantas, bagaimana caranya mendapat sertifikasi halal? Gampang. Penilaian dilakukan dari higienis atau tidaknya lokasi pengolahan, bersih atau tidak. Itu dinilai. Ayam, kucing, dan binatang lainnya, tidak boleh ada di tempat produksi. Jadi restoran dan rumah makan yang mau dapat sertifikat halal, diperhatikan hal itu. Kalau sudah oke dari dinas kesehatan, baru ada sertifikat,” paparnya.
Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Kemenpar Lokot Ahmad Enda, berharap penjelasan dari LPPOM MUI bisa membuka wawasan mengenai muslim friendly dan mengapa hal itu penting dalam wisata kuliner.
“Kita tidak mau ada kesalahan dalam mengartikan konsep itu. Kita berharap penjelasan yang diberikan LPPOM MUI bisa diterima dengan baik. Kita ingin Danau Toba menjadi destinasi dunia yang ramah buat siapa saja. Dan bisa dinikmati siapa saja,” katanya.