Bamsoet: Kelangkaan Minyak Goreng dan Kedelai Jangan Berlarut-larut
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo turut memberikan komentar soal kelangkaan minyak goreng.
Penulis: Content Writer
![Bamsoet: Kelangkaan Minyak Goreng dan Kedelai Jangan Berlarut-larut](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/bambang-soesatyo-harga-minyak-goreng.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai memang tengah menjadi keluhan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan beberapa tempat, terjadi antrean warga yang akan membeli minyak goreng. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo turut memberikan komentar soal masalah ini.
Menurut politikus yang akrab disapa Bamsoet ini, gejolak harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan kedelai bisa mencoreng kredibilitas pemerintah. Oleh karena itu jangan dibiarkan sampai berlarut-larut.
"Gejolak harga kebutuhan pokok selalu menjadi isu sensitif yang bisa mencoreng kredibilitas pemerintah. Maka, durasi kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai saat ini jangan sampai berlarut-larut. Pemerintah perlu menempuh semua cara yang legal untuk mengatasi masalah ini. Sebab, memasuki pekan kedua Februari 2022 ini, kelangkaan minyak minyak goreng dan tingginya harga kedelai sudah berlangsung lebih dari sebulan," kata Bamsoet.
Lebih lanjut lagi, dia mengatakan akar masalah dan penyebab kelangkaan serta mahalnya harga minyak goreng sudah diketahui, karena sudah diperkirakan sejak tahun lalu. Dia menyatakan naiknya harga CPO di pasar global menjadi salah satu penyebab, namun karena tidak adanya langkah atau kebijakan antisipatif, kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng harus ditanggung masyarakat sebagai konsumen.
"Sedangkan lonjakan harga kedelai terjadi karena berkurangnya pasokan ke pasar dalam negeri. Pasokan kedelai berkurang karena volume produksi di negara produsen menurun. Dalam kasus kedelai, ketergantungan Indonesia akan produk impor memang tak terhindarkan. Kecenderungan ini terjadi karena produksi dalam negeri terus menurun dan tak bisa memenuhi permintaan masyarakat. Awal Februari 2022, harga kedelai di pasar global berkisar Rp11.240 per kilogram," jelasnya.
Dari total kebutuhan yang mendekati tiga juta ton, total produksi dalam negeri hanya mampu memasok kurang dari 10 persen. Sisanya, mau tak mau, impor dari Amerika Serikat dan beberapa negara produsen lainnya. Maka, ketika produksi kedelai di di beberapa negara produsen menurun, Indonesia harus mencari jalan keluar dengan melakukan pendekatan kepada negara produsen lainnya.
Nyaris sepanjang Januari hingga pekan kedua Februari 2022, kelangkaan serta naiknya harga minyak goreng, dan kenaikan harga kedelai sudah memberi dampak yang tidak nyaman untuk semua rumah tangga. Keluh kesah para ibu rumah tangga itu adalah hal yang nyata, tanpa rekayasa. Komunitas lainnya yang juga sangat terpukul adalah belasan juta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini menjadikan minyak goreng serta kedelai sebagai komoditi andalan.
Hampir setiap hari, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai portal berita sepanjang Januari-Februari 2022, masyarakat sudah menyuarakan keluh kesah mereka sebagai respons atas persoalan minyak goreng dan kedelai yang belum terselesaikan sebagaimana mestinya. Dilihat dari rentang waktunya, itu bukanlah durasi yang pendek.
Di berbagai daerah, sempat terjadi antrian panjang ibu-ibu yang akan membeli minyak goreng. Pemandangan seperti ini tentu memprihatinkan, dan sudah digambarkan sebagai ironi Indonesia yang nyata-nyata sebagai salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Antrian warga pembeli minyak goreng itu hendaknya tidak hanya dipahami sebagai sebuah peristiwa, melainkan patut diterjemahkan sebagai aspirasi para ibu rumah tangga.
Tak kalah menyedihkan adalah keluhan para produsen tahu-tempe di berbagai daerah. Dari beberapa wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Kota Parepare di Sulawesi Selatan, para produsen tahu-tempe yang rata-rata berskala industri rumah tangga, pun sudah menyuarakan keluh kesah mereka atas persoalan tingginya harga kedelai.
Di Jawa Tengah saja, misalnya, jumlah produsen tahu-tempe berkisar 10.000 orang. Mereka berharap agar pemerintah bertindak cepat mengendalikan harga kedelai. Apa yang dialami produsen tahu-tempe tentu saja memberi dampak ikutan pada komunitas pemilik rumah makan maupun penjual jajanan tahu dan tempe goreng yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Bamsoet yang juga dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka, mendesak pemerintah untuk segera mendengar dan merespons keluh kesah masyarakat soal ini. Pemerintah diminta untuk all out mengatasi dua masalah ini karena berkaitan dengan kebutuhan rumah tanggan dan kepentingan jutaan pelaku UMKM.
"Sebagai masalah yang sedang dihadapi semua rumah tangga Indonesia, kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai sudah memasuki bulan kedua. Pemerintah diharapkan lebih peka pada keluh kesah para ibu rumah tangga, dan Jangan sekali-kali pernah menyederhanakan persoalan ini. Harga kebutuhan pokok yang bergejolak selalu menjadi isu yang sangat sensitif jika tidak segera ditangani. Kredibilitas pemerintah sebagai regulator menjadi taruhannya, karena masyarakat akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah mengelola kebutuhan pokok," ucapnya lagi.
Persoalan kelangkaan minyak goreng dan tingginya harga kedelai tidak boleh menjadi faktor yang mengeskalasi masalah. Agar masalahnya tidak berlarut-larut, pemerintah perlu menempuh semua cara yang legal untuk mengatasi dua masalah ini.