Catatan Bambang Soesatyo dan Andi Rahmat: Indonesia dan BRICS
Bambang Soesatyo dan Andi Rahmat/Koordinator Wakil Ketua Umum Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia
Editor: Content Writer
Belum lagi ditambah fakta akhir-akhir ini dimana kompetisi antara sebagian negara-negara BRICS dan G7 memang sangat intens. Dan dalam banyak hal tidak hanya terjadi di sektor ekonomi, tapi juga meluas kepada aspek politik, dan keamanan dunia. Skenario terburuk ini tentu sebijaknya dihindari. Karena itu, diperlukan upaya yang tepat dan matang dari para pemimpin negara untuk mengatasi ini.
Hendak kami tekankan di sini adalah sisi besarnya kemungkinan terbentuknya dualitas sistem ekonomi, bukan atas dasar ideologi ekonomi seperti dimasa lalu, dimana kapitalisme blok barat berhadapan dengan komunisme blok timur. Melainkan dualitas berdasarkan sistem pembayaran yang mendasari lalu lintas perekonomian dunia.
Dampaknya yang ketiga, juga akan terasa di sektor keuangan dunia. Baru-baru ini HSBC mengumumkan untuk mulai menggunakan CIPS (cross border interbank payment system) yang dimiliki oleh China. HSBC merupakan bank internasional pertama yang menggunakan CIPS diluar bank-bank China. HSBC memiliki aset sebesar USD 3,038 trilliun dan beroperasi di lebih dari 60 negara. Seiring dengan perjalanan waktu, akan makin banyak perbankan global yang karena eksposurnya terhadap perekonomian BRICS akan turut menggunakan sistem ini.
Pasar hutang global juga demikian. Dapat diasumsikan bahwa kesepakatan BRICS dalam hal sistem pembayaran lintas negara akan mempengaruhi pasar hutang dunia. Sampai tahun 2023, total hutang dunia mencapai USD 307 trilliun.
US Dollar merupakan mata uang dominan dalam pasar/kontrak hutang dunia. Menurut satu studi yang dirilis oleh Bank of International Settlement (BIS) berjudul “Dominant Currency Debt” (Egemon Eren dan Semyon Malamud, 28 Maret 2022) dominasi USD ini bukan merupakan keinginan investor, melainkan didorong oleh keperluan peminjam untuk melindungi peminjam dari resiko nilai tukar jangka panjang.
Nampaknya, dengan berbagai perkembangan politik dan keamanan dunia akhir-akhir ini, upaya untuk mengurangi dominasi Dollar sebagai “dominant currency debt “ akan terus berlanjut. Mata uang selain US dollar makin sering dipergunakan sebagai denominator hutang.
Patut dicatat negara-negara BRICS akhir-akhir ini semakin memainkan peran penting dalam pasar hutang dunia. China merupakan investor utama di pasar hutang dunia. Rusia dalam skala yang lebih kecil juga memainkan peran penting di pasar hutang negara-negara di Asia Tengah dan sebagian negara yang sedang bergejolak di Afrika. Demikian pula India yang makin aktif dalam memfasilitasi kontrak hutang dunia.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, yang kemudian disikapi oleh negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat, dengan memberikan sanksi ekonomi berupa pembekuan devisa Rusia, banyak negara-negara di dunia yang makin khawatir terhadap monopoli sistem pembayaran dunia oleh Amerika Serikat.
Menilik itu semua, pilihan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan pilihan tepat yang patut didukung. Sebagaimana lazimnya dalam berbagai even dunia, akan selalu ada reaksi balik dari negara-negara barat terhadap pilihan Indonesia ini. Terutama karena bergabungnya Indonesia kedalam BRICS akan makin memperkuat fondasi kekuatan kompetitif dan daya tawar BRICS.
Indonesia dengan kemungkinan masa depan perekonomiannya yang cerah memang mesti cermat dalam menyikapi perkembangan lanskap perekonomian dunia. BRICS menawarkan masa depan aliansi ekonomi yang menguntungkan bagi Indonesia. Tinggallah kini upaya-upaya diplomatik Indonesia guna meyakinkan negara-negara pendiri BRICS untuk terbuka dan mempercepat proses inklusi Indonesia. Semoga.