'Rantau 1 Muara' Tuturkan Dinamika Hidup Jurnalis
Baru-baru ini, bagian ketiga dari novel keluaran Gramedia dilepas ke publik, dengan judul 'Rantau 1 Muara'.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenangan akan masa-masa indah ketika mengenyam pendidikan di Pesantren Gontor, Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, mengantar A Fuadi menuju kesuksesan.
Potongan-potongan memorinya, sejak pertama kali dipaksa ibunya bersekolah di pesantren, hingga lulus dan mencari kerja, ia bubuhkan ke dalam sebuah novel trilogi bertajuk 'Lima Menara'.
Baru-baru ini, bagian ketiga dari novel keluaran Gramedia dilepas ke publik, dengan judul 'Rantau 1 Muara'.
Digna, pihak perwakilan Gramedia mengatakan, sejak pertama kali keluar pada 27 Mei 2013, 'Rantau 1 Muara' telah terjual sekitar 10 ribu buku.
"Rantau 1 Muara terbit pada 27 Mei 2013, dalam satu minggu terjual 5 ribu eksemplar, dan kini sudah dua minggu terjual 10 ribu eksemplar lebih," katanya ketika berbicang-bicang dengan Tribunnews.com, di Kantor Tribun, Jakarta, Senin (10/5/2013),
Fuadi yang juga hadir dalam bincang-bincang mengatakan, 'Rantau 1 Muara' menceritakan salah satu periode kehidupan tokoh utama novel triloginya, Alif.
"Rantau 1 Muara periodenya beda, yaitu menceritakan masa-masa mencari kerja yang penuh kegalauan, seperti mau kerja di mana, enaknya di mana, kalau sudah dapat juga belum tentu cocok," tuturnya.
Dalam novel, setelah merampungkan kuliah, Alif bekerja di sebuah surat kabat bernama Derap. Saat itulah, dinamika kehidupan mulai membumbui kehidupannya, seperti bekerja di bawah tekanan deadline, dan mencari belahan hidupnya.
Menurut Fuadi, apa yang ia tuliskan banyak diinspirasi kehidupan pribadinya, ketika ia menjadi seorang wartawan di Tempo.
Namun, karena sudah lama meninggalkan profesinya, Fuad harus melakukan sejumlah riset, untuk merasakan kembali sensasi yang dirasakan ketika menjadi seorang wartawan. Ia pun melakukan observasi di Kantor Majalah Tempo.
"Saya ingin dapatkan perasaan itu kembali. Saya diizinkan mengikuti rapat redaksi sebanyak tiga kali, dan mengunjungi newsroom," ungkapnya.
Fuadi pun mendapatkan referensi dari foto-foto dan video masa lalunya, ketika ia merasakan bangku kuliah di Washington, Amerika Serikat (AS).
Karena itu, novel 'Rantau 1 Muara' mengambil seting tempat di Jakarta, Washington, dan New York.
Untuk menulis 'Rantau 1 Muara', Fuadi butuh waktu dua tahun, di mana proses setengah tahun ia habiskan untuk menulis.
"Satu hari saya paksakan diri saya, menyelesaikan satu halaman. Jadi, kalau satu tahun 365 halaman, lalu masuk proses edit, yang dibantu istri saya," bebernya.
Kendati tidak bisa menilai sendiri hasil buah tangannya, sejumlah orang yang telah membaca, menurut Fuadi, menilai novel tersebut sangat menginspirasi. Itu tak lepas dengan visi misi hidup Fuadi, yaitu berguna bagi orang lain.
"Setelah bertahun-tahun kerja ada masa galau, saya mau ngapain? Saya ingat pesan kyai saya, sebaik-baiknya orang yang bawa manfaat pada orang lain. Saya tertohok, selama ini saya bermanfaat bagi diri sendiri, tapi tidak membawa manfaat bagi banyak orang. Lalu, bagaimana saya bisa berbagi di level itu, lalu saya ingat, saya bisa menulis," urainya.
Nilai-nilai yang ia ingin Fuadi bagi ke pembacanya adalah kejujuran, konsistensi, kerja keras, anti-korupsi, dan kesabaran.
"Lima Menara menceritakan impian besar seorang anak kecil. Ranah Tiga Warna tentang masa kuliah, menguji kesabaran, ujian dalam hidup. Buku ketiga tentang konsistensi, pengabdian yang terus ke tujuannya, di mana ini diajarkan dalam sekolah saya, dan itu menginspirasi saya," ungkapnya. (*)