Dulu Dianggap Kuno, Kini Motif Lurik Semakin Dilirik
Di tangan para desainer, lurik menemukan "nyawa" baru. Dengan permainan warna dan teknik desain, kini tampil modern.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Di tangan para desainer, lurik menemukan "nyawa" baru. Dengan permainan warna dan teknik desain, kain bermotif "lorek" alias garis-garis ini tampil modern.
Lurik merupakan salah satu kain tradisional purba. Kekunoan sejarah lurik, misalnya, bisa dilihat pada prasasti zaman Kerajaan Hindu Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang (Nian S Djoemena,
The Magic Stripes, 2000).
Dulu ketika Jawa masih terdiri dari sejumlah kerajaan, lurik menjadi primadona. Kain tenun ini dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat, dari rakyat jelata hingga bangsawan kerajaan. Seperti juga batik, lurik yang usianya lebih tua itu sarat dengan pemaknaan mendalam tentang siklus semesta dan kehidupan manusia. Sayangnya, memasuki era modernisasi, pamor lurik tradisional makin pudar, kalah oleh serbuan kain buatan mesin.
Kepincut pada kecantikan lurik, para desainer Yogyakarta seperti Phillip Iswardono (46), Ninik (50), dan Lulu Lutfi Labibi (31) menjadikan lurik sebagai materi utama rancangan mereka.
Dalam koleksi Ninik, keindahan lurik dimunculkan tanpa meninggalkan karakter dasar lurik, yaitu sederhana. Demi menjaga karakter itu, seluruh rancangan dibuat dengan garis desain simpel tanpa tambahan ornamen mencolok. Gaun lurik dengan siluet kebaya, potongan baby doll, atau bawahan yang menggelembung tampil elegan.
"Rancangan untuk lurik harus sederhana, tapi berkarakter, jauh dari glamor. Mewah, tapi tidak berkilau, mewakili karakter Jawa yang temoto, (rapi tertata, tertib)," kata Ninik yang pertama kali menyuguhkan koleksi yang sepenuhnya lurik di Jakarta Fashion Week 2010.
Ninik merupakan salah satu desainer perintis yang bersetia pada penggunaan lurik. Perjuangannya cukup panjang untuk mengantar lurik menjadi materi fashion yang sejajar dengan materi kain lainnya.
Harus nyaman
Dengan penambahan kain pelapis (lining) yang rapi dan nyaman, Phillip mengolah lurik buatan alat tenun tradisional (ATBM dan alat tenun gendong) yang umumnya tebal dan teksturnya kasar itu menjadi nyaman dipakai. Karya-karyanya begitu segar dengan tabrak warna, tabrak motif, dan patchwork (menggabungkan potongan-potongan lurik).
Sesekali, Phillip memadukan lurik dengan batik biron khas Wukirsari. Dari tangannya lahir kebaya cantik, setelan pakaian kerja, busana kasual, gaun panjang, hingga blazer, yang semuanya terbuat dari lurik gendong. "Saya coba angkat lurik tradisional yang sekarang hampir punah," kata Phillip yang menekuni lurik sejak 1996.
Karena keunikan desain lurik yang antara lain ditampilkan di Indonesia Fashion Week 2013, Phillip mendapat gerai gratis untuk memasarkan lurik di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat. "Sangat laku," tambahnya. Kaum urban Jakarta cenderung menyukai karya lurik dengan warna-warni cerah, sedangkan konsumen ekspatriat lebih menyukai lurik bernuansa kental etnik.
Bahan baku lurik tradisional yang bertekstur kasar, tebal, serta warnanya gelap itu oleh Phillip juga diolah menjadi pakaian musim dingin. "Material sudah berat. Harus dikemas sehingga sisi modernnya muncul, tapi dengan tekstur dan warna tradisional," ujarnya.
Kerapatan benang yang tidak teratur sebagai akibat proses pembuatan tanpa mesin juga menjadi tantangan karena lurik mudah menyusut. Agar konsumen tak kecewa, lurik harus terlebih dulu direndam selama minimal dua jam sebelum diproses menjadi pakaian.
"Secanggih-canggihnya alat tradisional, enggak bisa mengharapkan sempurna. Siasatnya adalah waktu mengolah kain. Saat menemukan kurang bagus, ya, dihindari saja. Bagian kurang bagus bisa dimanfaatkan dengan patchwork," kata Phillip.
"Draping"
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.