Kesan Flamboyan Busana Lurik Bernuansa Urban Rancangan Didiet Maulana
Didiet Maulana dengan labelnya, IKAT Indonesia, sekali lagi membuktikan wastra tradisional mampu berkolerasi dengan selera mode kaum urban masa kini.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Daniel Ngantung
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di Jakarta Fashion & Food Festival 2014, Minggu (18/5/2014), desainer Didiet Maulana dengan labelnya, IKAT Indonesia, sekali lagi membuktikan wastra tradisional mampu berkolerasi dengan selera mode kaum urban masa kini.
Konsisten mengolah wastra tradsional sebagai identitas brand-nya, Didiet kali ini meramu lurik Klaten dan Yogyakarta dengan endek Bali menjadi 54 set busana siap pakai pria dan wanita yang ditampilkan dalam peragaan bertajuk "Garis-Garis Budaya Nusantara".
"Dengan background saya sebagai arsitektur, garis-garis memiliki makna tersendiri bagi kehidupan saya," ujar alumnus Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan ini saat jumpa pers sebelum peragaannya.
Ini adalah kali pertamanya Didiet tampil di JFFF. Pun demikian pertama bagi Didiet untuk mengolah kain yang identik dengan motif garis itu.
Butuh usaha yang keras serta konsistensi dalam menerjemahkan lurik sebagai produk untuk kebutuhan mode.
Lurik yang ia eksplor kali ini merupakan buah karya para perajin Desa Cawas, Klaten, Jawa Tengah, yang bahannya terbilang masih kasar.
"Saat bicara mode, berarti kita bicara industri yaitu bagaimana kita membuat busana yang nyaman dipakai banyak orang," katanya.
Secara bertahap, Didiet mencoba mengenalkan para perajin kepada pengguaan benang yang tingkat kehalusannya lebih baik.
"Misal dari katun grade B, lalu ke grade A, hingga ke benang sutra," ujar sahabat karib penyanyi Andien ini.
Cita-cita Didiet adalah membuat masyarakat Indonesia bangga mengenakan busana berbahan kain tradisional tanpa dihantui rasa takut dicap kuno. Sekaligus, menjadikan wastra sebagai sumber penghasilan yang layak bagi para perajinnya.
Tantangan lain pun datang. Ia memastikan para perajin membuat lurik yang memiliki motif dan warna kain yang sejalan dengan tren yang berlaku saat ini. Untuk itu, ia memperkenalkan kepada para perajin tren-tren busana maka kini lewat gambar-gambar di majalah mode yang dibawanya dari Jakarta.
"Ini untuk kebaikan mereka juga pastinya. Kalau tidak ada permintaan, tentu mereka tidak akan memeroleh pemasukan," ujarnya.
Diakui Didiet, menenun sebetulnya hanyalah pekerjaan sampingan masyarakat di Desa Cawas. Bertani masih menjadi mata pencaharian andalan masyarakat setempat. Di samping itu, para penenun juga didominasi kaum lanjut usia yang produktivitasnya mulai menurun. Kelestarian lurik terancam karena generasi muda desa setempat lebih memilih mengadu nasib ke kota besar.
"Kalaupun ada, itu juga tidak konsisten karena mereka harus kembali ke sawah," kata desainer yang memiliki garis desain yang simpel dan feminin ini.
Muncullah kekhawatiran Didiet soal konsistensi produksi mereka dalam memenuhi kebutuhan pasar. Berbagai upaya pun ia lakukan untuk menyiasati persoalan tersebut. "Saya membuat proyek kecil-kecilan bersama RT setempat. Kami meminjamkan alat tenun kepada ibu-ibu muda supaya mereka bisa menenun di rumah sambil mengurus anak," katanya.
Seorang "pentolan" desa lalu Didiet tunjuk sebagai koordinator para penenun tersebet. Secara rutin Didiet memantau pekerjaan para perajin lewat koordinator itu.
"Setiap dua hari sekali saya telepon koordinator itu untuk memantau perkembangan mereka. Hanya sekedar untuk mengetahui Sejauh mana proses produksi barang yang diminta," kata Didiet.
Bentuk Baru
Buah kerja keras Didiet dan para perajin akhirnya terbayarkan oleh tepuk tangan meriah penonton dan ucapan selamat dari para seniornya sesama desainer usai peragaannya.
Petang itu, Didiet menampilkan pilihan busana pria dan wanita untuk koleksi spring-summer 2015 yang dalam istilahnya ia sebut koleksi Mentari (Sementara itu, fall-winter ia sebut Purnama).
"Karena kita di Indonesia tidak punya musim semi-panas atau gugur-dingin," katanya.
Peragaan kali ini kian terasa spesial bukan hanya karena ini adalah peragaan pertamanya di JFFF atau kali pertamanya ia memgeksplorasi lurik Klaten. Di panggung busana kali ini, secara perdana Didiet menyuguhkan hasil eksperimennya dengan bentuk baru.
"Aku banyak menghadirkan shape (bentuk) baru misal cropped top dalam bentuk jaket dan kemeja sehingga memberikan twist yang lebih modern dan urban," jelas Didiet.
Pilihan cropped tersebut cukup mendominasi pada koleksi busana pria. Salah satu yang ditampilkan adalah jaket cropped hitam belakang yang bagian belakangnya diberi aksen lurik dan ritsleting. Jaket tersebut dipadukan dengan kemeja lurik merah yang kelimannya dihiasi detail beading, serta celana panjang coklat berbahan endek Bali.
Detail beading di keliman seperti menjadi identitas tersendiri untuk koleksi ini karena hampir semua busana dihiasi detail tersebut. Detail beading tampak disusun membentuk motif geometris sehingga memberi sentuhan glamor tanpa berlebihan.
Inovasi lain yang Didiet suguhkan adalah hadirnya tulisan "IKAT" di beberapa pilihan baju, mulai dari sweater, jaket bomber yang dijahit dengan gaya quilting hingga blouse sheer (transparan) untuk busana wanita.
Dalam presentasinya, jaket tersebut ada yang dipadukan dengan rok pensil beraksen ruffle, atau celana pipa sehingga memberi sentuhan jenaka yang effortless.
"Entah kenapa iseng saja sih (menghadirkan tulisan IKAT di baju). Mungkin supaya orang merasa bangga mengenakan kain tradisional," tuturnya.
Usai peragaan, Didiet juga mengenalkan Mike Lewis sebagai brand ambassador untuk koleksi busana prianya.
Klik di sini! - Berita dan gosip terpanas selebritis, hari ini!
Klik di sini - Foto-foto selebritis keren dan terkini, hari ini !
Klik di sini - Artikel-artikel asyik seputar gaya hidup masa kini
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.