Bunyi Gong di Malam Pertama Pertanda Pengantinnya Masih Perawan
Dalam tradisi tersebut, pasangan pengantin yang baru menikah diwajibkan melakukan "malam pertama" di atas sehelai kain putih.
Editor: Sugiyarto
Menurut Wancik, ketatnya aturan pergaulan antara pria dan wanita tersebut bukan tanpa sebab. Hal ini dilakukan karena keluarga sang gadis berusaha menjaga kehormatan dan kesucian anak gadisnya.
Juga agar tidak malu, saat sang gadis menikah pada saatnya. Bagi pria, keperawanan adalah kehormatan seorang gadis pada masa itu.
"Mempelai pria bisa saja mengembalikan perempuan yang baru saja dinikahinya kalau terbukti tak perawan lagi. Makanya ada adat seperti itu," katanya.
Wancik menjelaskan, pada malam pertama, keluarga mempelai pria akan membentangkan sehelai kain putih di atas tempat tidur pengantin.
Kemudian, keluarga pria yang terdiri dari sesepuh akan menunggu di depan pintu kamar pengantin, selama proses malam pertama bercampur.
Setelah kedua mempelai selesai "becampur", maka para orang tua atau sesepuh keluarga akan memeriksa kamar pengantin yang telah selesai digunakan.
Kain putih yang menjadi alas akan diperiksa. Mereka akan membuktikan apakah di kain itu ada bercak darah yang dianggap sebagai bukti bahwa pengantin wanita masih perawan atau
tidak.
Bila didapati ada bercak darah, maka para tetua mempelai pria akan memukul cengkung (sejenis gong kecil) untuk diperdengarkan pada masyarakat banyak.
Suara cengkung mengandung informasi bahwa pengantin perempuan masih perawan. Sebaliknya, jika tidak ditemukan bekas atau noda darah di kain itu, maka tidak ada bunyi cengkung.
"Jika itu terjadi, maka pengantin periah berhak memilih apakah tetap mau melanjutkan pernikahan atau mengembalikan pengantin perempuan kepada keluarganya. Tentunya sangat memalukan dan itu yang dikhawatirkan pihak keluarga perempuan," kata Wancik.
Tiga Bulan Nikah Sudah Lahiran
Cukup lama tradisi ini berjalan di tengah masyarakat Penukal, dan itu dianggap positif karena mampu mencegah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan saat itu.
Sampai akhirnya muncul sebuah tindakan yang dianggap telah menghianati tradisi ini, sekaligus membuat masyarakat setempat tak mau lagi melaksanakannya.
"Waktu saya jadi ketib (penghulu), sekitar tahun 1990-an ada pihak pengantin pria memukul cengkung, tanda pengantin perempuan masih perawan. Tapi tak sampai tiga bulan menikah, istrinya melahirkan. Saya marah karena mereka sudah membohongi adat. Untuk apalagi ada cengkung kalau pengantin wanitanya tidak perawan lagi. Sejak kejadian itu, orang mulai meninggalkan tradisi ini, karena dianggap tidak ada gunanya lagi," ujar Mat Nur, mantan
penghulu era 90-an.