Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Lifestyle

Bunyi Gong di Malam Pertama Pertanda Pengantinnya Masih Perawan

Dalam tradisi tersebut, pasangan pengantin yang baru menikah diwajibkan melakukan "malam pertama" di atas sehelai kain putih.

Editor: Sugiyarto
zoom-in Bunyi Gong di Malam Pertama Pertanda Pengantinnya Masih Perawan
Istimewa
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, PALI- Dalam suatu majelis yang berlangsung di sebuah perguruan tinggi di Palembang awal Mei lalu, seorang perempuan muda curhat kepada ustaz tentang masalah yang dihadapinya.

"Menurut ustaz, apa yang harus saya lakukan? Dalam waktu dekat saya akan menikah dengan laki-laki pilihan saya. Tapi ada tradisi yang harus saya ikuti, dan itu tidak adil bagi saya," ujar perempuan itu.

Perempuan tersebut mengaku berasal dari salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Penukal, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan (Sumsel).

Ia mengatakan, keluarganya masih memegang teguh "tradisi cengkung".

Dalam tradisi tersebut, pasangan pengantin yang baru menikah diwajibkan melakukan "malam pertama" di atas sehelai kain putih.

Di saat bersamaan, beberapa orang sesepuh dari pihak keluarga pengantin laki-laki menunggu di dekat pintu (luar kamar).

Setelah sepasang pengantin selesai melakukan tugasnya, para sesepuh itu akan masuk ke kamar dan memastikan kain putih tersebut ada bekas "darah perawan" atau tidak.

Berita Rekomendasi

"Saya tahu darah yang keluar saat bercampur tidak bisa menjadi patokan perempuan masih perawan atau tidak. Tapi keluarga saya tetap keukeh melaksanakan adat itu. Saya bingung ustaz," ujar perempuan itu.

Sempat terjadi diskusi panjang di antara peserta majelis, hingga akhirnya sang ustaz menyimpulkan bahwa tradisi itu bertentangan dengan syariat Islam.

"Agama kita tidak mengajarkan seperti itu. Kamu harus memberi penjelasan dengan cara yang baik kepada pihak keluargamu. Bahwa kita harus menjaga pergaulan, betul. Tapi tidak begitu caranya," ujar sang ustaz.

Tanya jawab mengenai tradisi cengkung di majelis tersebut, membawa Sripoku.com kepada seseorang bekas penghulu di salah satu desa dalam wilayah kecamatan Penukal, PALI, tempat tradisi itu pernah ada. H Wancik (65), orangnya.

Ia menceritakan, sebelum tahun 90-an, jejaka yang ingin bertemu gadis pujaannya harus bernyali dan berjuang keras.

Pada masa itu, bertemu dan berduaan harus sembunyi-sembunyi jika tak ingin babak belur dan dikenakan denda.

"Kalau mau ketemu gadis, harus sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan bisa dipukul atau dibawa ke rumah kepala desa dan dikenakan denda," kata Wancik, saat ditemui di rumahnya, Kamis (7/5/2015).

Halaman
1234
Sumber: Sriwijaya Post
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas