Pergelaran ‘Kartini dan Perempuan Penggiat Perdamaian’ Sifat Ksatria di Balik Kelembutan Perempuan
Ketidak-setaraan gender menyebabkan banyak ketidak-adilan terhadap perempuan. Hal ini diantaranya masih ada bentuk diskriminasi
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketidak-setaraan gender menyebabkan banyak ketidak-adilan terhadap perempuan. Hal ini diantaranya masih ada bentuk diskriminasi, tindak kekerasan, marjinalisasi, sub-ordinasi, bias, dan stereotipe, terhadap kaum perempuan.
“Perlindungan hak perempuan sudah semestinya menjadi perhatian khusus bagi semua pihak tanpa menciptakan diskriminasi. Paradigma perempuan kaum lemah tidak berlaku lagi pada zaman yang sedemikian pesat,” ungkap Menteri Pemperdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Prof. DR. Yohana Susana Yembise, Dip. Apling, MA,dalam sambutan tertulis, yang disampaikan di acara Gelar Pentas Budaya Kartini dan Perempuan Penggiat Perdamaian di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI), Kuningan Jakarta, Kamis (27/04/ 2017).
Sambutan tersebut dibacakan Deputi Menteri Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemperdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Prof. Dr. Vennetia Ryckerens Danes, MSc, PhD.
“Kami menyampaikan permohonan maaf dari ibu Menteri, beliau berhalangan hadir di acara ini karena mendapat tugas mendadak dari Presiden untuk melaksanakan tugas ke Iran,” tutur Vennetia.
Perempuan Jangan Jadi Korban Zaman Kesetaraan hak untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, ungkap Vennetia, tidak menempatkan perempuan sebagai kompetitor laki-laki.
“Jadi tidak ada lagi keraguan bagi perempuan untuk berkiprah sebesar-besarnya dan berpartisipasi membangun negeri ini,” ujarnya.
Kementerian Pemperdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kata Vennetia, mendukung diselenggarakannya Gelar Pentas Budaya Kartini dan Perempuan Penggiat Perdamaian dalam rangka menyambut Hari Kartini 2017.
Hal ini menjadi salah satu sumbangsih para pelaku seni budaya yang memiliki kepedulian terhadap harkat perempuan.
Pergelaran‘Kartini dan Perempuan Penggiat Perdamaian’ ini adalah pementasan pembacaan sajak-sajak dengan sentuhan musik, tari, dan teater.
Perempuan, lanjut Vennetia, jangan menjadi korban zaman yang hanya pandai mematut diri.
“Perempuan bukan semata mempercantik diri. Melainkan menanamkan sugesti kepada seluruh komponen bangsa. Hari ini menjadi bukti bahwa di balik kelembutan hati perempuan terdapat sifat ksatria dalam membela kesatuan dan persatuan Indonesia yang diaplikasikan melalui pergelaran bernuasa kebudayaan ini,” urainya.
Pada kesempatan tersebut hadir para inspirator perempuan, antara lain; Suraiya Kamaruzzaman, yang berhasil meredakan konflik di Aceh. Lian Gogali, yang berhasil mengatasi konflik Poso (Sulawesi Tengah).
Yusan Yeblo, pejuang hak pribumi di Papua, serta Dewi Kanti, tokoh perempuan muda yang mempertahankan budaya Sunda Wiwitan, di Kuningan, Jawa Barat.
Ke empat tokoh perdamaian perempuan ini juga tampil di atas panggung membacakan karya-karya puisinya. Menyuarakan berbagai kompleksitas gejolak sosial kultural yang terjadi di masing-masing wilayahnya, dari Aceh, Poso Sulawesi, Papua, hingga Kuningan Jawa Barat.
Pergelaran‘Kartini dan Perempuan Penggiat Perdamaian’ ini, digagas oleh budayawan Bambang Oeban. Diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, dan Natural Indonesia.
Melibatkan para seniman, budayawan, aktor, aktris, penyanyi, dan musisi, antara lain, Aning Katamsi (penyanyi seriosa soprano), Clara Sinta (aktris, putri almarhum WS. Rendra), Asti Fajriani (pianis), Boy Tirayoh (aktor), dan puluhan seniman lainnya.