Tekad Para Putri Sulamit, Tunjukkan Kecantikan Dari Dalam Beri Perubahan Berarti bagi Masyarakat
Putri Sulamit yang punya karakter kuat, kepercayaan diri, dan impian, serta berani bangkit dari keterbatasan untuk memberi perubahan berarti.
Penulis: Regina Kunthi Rosary
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Regina Kunthi Rosary
TRIBUNNEWS.COM, BALI - Sebagian perempuan merasa cantik dari luar saja tak cukup.
Sebab, cantik yang berasal dari dalam diri nyatanya diperlukan demi makna kehidupan yang lebih baik.
Demikian halnya dengan para Putri Sulamit yang punya karakter kuat, kepercayaan diri, dan impian, serta berani bangkit dari keterbatasan untuk memberi perubahan berarti bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Ketujuh perempuan itu, yakni Akwilina Jeni (17), A A Istri Putri Dwi Jayanti (20), Nishada Warih Segara Muncar (21), Poppy Indrawati (26), Trya Divinity Malensang (20), Duma Mariana Simanjuntak (20), dan Yunita Alanda Monim (19), bakal mempersembahkan proyek sosial masing-masing.
Putri Sulamit asal Ngabang, Kalimantan Barat, Akwilina Jeni mempersembahkan proyek sosial Menari Luar Biasa.
"Saya membuat proyek sosial Menari Luar Biasa. Nantinya saya bukan akan menari bersama orang-orang hebat. Tapi, saya akan mengayomi anak-anak yang punya keterbatasan, yang berkebutuhan khusus," tuturnya, Sabtu (29/4/2017) malam.
Dikisahkan Akwilina, sejak kecil ia memang senang menari setelah pernah terpesona oleh penampilan perempuan penari di daerah tempat tinggalnya.
Hal itulah yang kemudian mendorong Akwilina ingin membagi kemampuan menarinya untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Di samping itu, sejak kecil Akwilina dibesarkan oleh orangtua yang sederhana.
Ibunya pun sempat jatuh sakit selama 9 tahun sehingga Akwilina harus dititipkan pada kakek-neneknya dan hidup lebih mandiri.
Putri Sulamit asal Bali A A Istri Putri Dwi Jayanti alias Gektri mempersembahkan proyek sosial Deaf Talk yang diperuntukkan bagi kaum tuli sekaligus kaum dengar.
"Melalui Deaf Talk, saya ingin tegaskan tiga hal. Pertama, ingin beri tahu budaya tuli itu seperti apa agar kita semua bisa membedakan dan menimbulkan toleransi dan saling menghargai yang baik. Kedua, memperkenalkan Bahasa Isyarat Insonesia atau Bisindo. Ketiga, merangkum dua hal itu menjadi kesetaraan antara kaum dengar dan kaum tuli," tutur Gektri, Sabtu (29/4/2017) malam.
Di samping itu, Gektri sendiri sejak kecil harus hidup mandiri dan bekerja keras membantu ibundanya sepeninggal sang ayah.