Merdi Sihombing Bakal Bawakan Karya Sustainable Fashionnya di London atas Undangan ILFWDA
Fashion yang ramah lingkungan (eco-fashion) dan fashion terbarukan (sustainable fashion) beberapa tahun belakangan menjadi perhatian dunia
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fashion yang ramah lingkungan (eco-fashion) dan fashion terbarukan (sustainable fashion) beberapa tahun belakangan menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia.
Terlebih ketika Ellen MacArthur Foundation melansir data yang menyatakan polusi yang dihasilkan dari industri fashion sama dengan polusi yang dihasilkan oleh batubara, migas bahkan petrokimia.
Dalam data laporan yang dilansir pada 2017 lalu itu, MacArthur menyatakan setiap detik terdapat 1 truk limbah tekstil yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau dibakar.
Kerugian setiap tahun diperkirakan mencapai USD 500 Milyar dari pakaian yang jarang dipakai atau tak pernah didaur ulang. Pada tahun 2050, industri fashion bahkan diperkirakan akan menggunakan 25% dari bujet karbon dunia apabila tidak ada seorang pun yang melakukan aksi perubahan.
Data tersebut juga memaparkan tentang fakta pahit bahwa industri fashion telah melakukan pencemaran yang masif, yakni membuang satu juta ton mikrofiber per tahun ke laut, yang setara dengan 50 trilyun botol plastik. Fakta di lapangan menunjukkan mikrofiber hampir mustahil untuk dibersihkan dan suatu saat akan masuk ke dalam rantai makanan yang dikonsumsi manusia.
Merdi Sihombing menyikapi isu ini dengan melakukan berbagai aksi nyata untuk melakukan re-thinking fashion, sebuah gerakan yang sejak 2018 lalu marak dilakukan pegiat fashion dunia. Sepanjang 2018, Merdi melakukan community development di Alor, Rote Ndao, Banyuwangi dan Lombok untuk mengajarkan berbagai teknik yang menerapkan konsep sustainable fashion, seperti penggunaan pewarna alam, benang organik, maupun pengelolaan limbah tekstil.
Merdi juga menggagas Eco-Fashion Week Indonesia 2018 yang digelar di Gedung STOVIA, Jakarta, dan menjadi pembicara di berbagai event yang mengusung prinsip sustainable lifestyle.
Mengawali 2019, tepatnya di pertengahan Februari Merdi diundang untuk membawakan karya sustainable fashionnya di London yang diprakarsai oleh Independent London Fashion Week Designers Association (ILFWDA).
Limabelas koleksi AW 2019 terbarunya dipergelarkan bersama karya-karya Jeff Garner dan tujuh desainer sustainable fashion independen dari mancanegara. Jeff Garner adalah desainer dari Amerika Serikat yang memenangi penghargaan 2018 Eluxe Award.
“Keikutsertaan saya di ILFWDA ini direkomendasikan oleh Jeff Garner yang karya-karya sustainable fashionnya sudah dikenal dunia melalui brand Prophetik. Koleksi saya kali ini juga mendapatkan dukungan dari Lenzing Indonesia – PT South Pacific Viscose, produsen benang ramah lingkungan, yakni Lyocell A 100 yang kemudian diberi pewarna alam sebelum ditenun menjadi kain-kain indah oleh perempuan-perempuan penenun di berbagai pelosok terpencil di Indonesia ” urai Merdi Sihombing seusai show-nya yang berlangsung di Beach Blanket Babylon, Notting Hill, pekan lalu.
Tema “Sirat” diangkat Merdi Sihombing sebagai sajian utamanya. Sirat adalah produk anyaman benang yang dikerjakan dengan teknik table weaving. Helai demi helai sirat yang berbentuk seperti pita itu dijahit menjadi satu, hingga membentuk gaun panjang, jumpsuit maupun longcoat yang diberi aksentuasi manik metal spike.
“Sirat biasanya digunakan sebagai hiasan kepala saat ritual adat. Bentuknya menyerupai pita sepanjang 1 meter dengan lebar 5-7 cm. Sirat biasanya terdiri atas tiga warna yang melambangkan dunia dengan komposisi warna putih di atas, merah di tengah dan hitam di bawah. Motif ini disebut dengan istilah Sacred Geometry,” jelas Merdi.
Merdi juga menyuguhkan koleksi klasik tenun ikat Hitam Putih, dan sejumlah koleksi dari kain yang diproduksi di Umapura Alor, sebuah atol kecil di Pulau Ternate.
“Umapura Alor yang merupakan pulau terluar di Indonesia bagian utara. Tahun lalu saya melakukan community development di pulau yang hanya punya satu sumber mata air bersih itu. Hutan-hutan di sana masih dijaga ketat oleh masyarakat, karena dari hutan itulah mereka mendapatkan perwarna alam. Tanaman kolam susu menghasilkan warna hijau, indigo untuk warna biru, atau akar mengkudu untuk warna merah. Saya juga menggunakan limbah limbah rebusan cumi-cumi dan teripang sebagai alternatif perwarna alam dalam koleksi ini.”
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.