Masih Banyak Beranggapan Kental Manis Susu Pertumbuhan, BPOM Diminta Perketat Regulasi
Hal itu tak lepas dari fakta masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah pihak yang menaruh perhatian terhadap persoalan kental manis. Mereka meminta BPOM memperketat regulasi kental manis.
Hal itu tak lepas dari fakta masih tingginya prevalensi stunting di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam rapat koordinasi pencegahan stunting beberapa waktu lalu menyebut, 1 dari 4 anak Indonesia stunting.
Regulasi mengenai produk kental manis tertuang dalam PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Di antara hal-hal yang diatur adalah penggunaan kental manis bukan untuk pengganti ASI dan sumber gizi, larangan penggunaan kata susu pada label serta larangan visualisasi anak dan kental manis digambarkan dalam bentuk minuman pada label, iklan dan promosi.
Aturan ini akan memasuki batas waktu penyesuaian pada 19 April 2021.
Artinya, lepas dari batas waktu yang ditentukan, sanksi sebagaimana disebutkan pada pasal 71 peraturan tersebut sudah berlaku.
Di antara sanksi yang dapat dikenakan adalah penghentian sementara dari produksi, penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen hingga pencabutan izin.
Baca juga: BKKBN Target Angka Stunting Turun 14 Persen di 2024
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengingatkan BPOM untuk tidak menunda pemberlakuan peraturan tersebut dengan alasan apapun.
“Peraturan itu dilaksanakan terlebih dahulu, ketika sudah berjalan baru kita akan tahu ada kekurangannya. Setelah kurun waktu 3-5 tahun baru akan ada pertimbangan lagi untuk di revisi,” jelas Agus.
Lebih lanjut Agus menyebutkan, perihal pasal yang mengatur tentang label kental manis misalnya.
“Tentang kental manis ini kan jelas, kita mau mencegah anak-anak menjadi diabetes. Makanya produsen diminta merubah label dan iklan, jangan ada lagi yang menunjukkan kental manis diminum anak-anak. Ketentuan ini dibuat untuk melindungi anak-anak,” tegas Agus.
Lebih lanjut, Agus juga menuturkan sebelumnya telah menemukan sejumlah iklan-iklan kental manis yang bertentangan dengan ketentuan BPOM.
Baca juga: Beredar di Indonesia 70 Persen Susu Pertumbuhan Balita Ternyata Tidak Sehat, Bisa Sebabkan Stunting
“Iklannya gimana? Masa yg minum anak-anak. Iklannya beberapa kali saya temukan ngaco dan saya laporkan ke BPOM,” pungkas Agus.
PerBPOM No 31 tahun 2018, menurut Agus adalah masa depan anak-anak Indonesia.
Sebaiknya semua pihak termasuk pemerintah dan swasta dalam hal ini produsen dan industri dapat menjalankan sebagaimana yang diamanatkan.
“Jika ada yang menginginkan ditunda atau mengatakan perlu direvisi, ya itu adalah hanya untuk kepentingan industri,” pungkas Agus.
Hal senada disuarakan Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra Chairunnisa, MKes.
Dia meminta BPOM harus benar-benar menegakkan sanksi kepada produsen Kental Manis pada April mendatang.
Sebagai organisasi masyarakat yang peduli terhadap kesehatan bayi dan anak-anak, kata Chairunnisa, Aisyiyah akan terus memantaunya di lapangan.
“Memang kalau kita lihat di beberapa outlet di supermarket sudah ada perubahan-perubahan, di mana Kental Manis ini tidak lagi ditempatkan di rak yang sama dengan produk susu. Tapi produsen itu kan tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang terselubung yang membuat masyarakat akhirnya tetap memahami bahwa Kental manis itu adalah susu. Itu yang memang menjadi tantangan kita dan BPOM perlu menegakkan sanksinya nanti,” ujarnya.
Dia menegaskan ke depan BPOM harus betul-betul harus memonitor implementasi PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya yang berkaitan dengan Kenal Manis di lapangan.
“Jadi bukan hanya sekedar tertulis tapi harus betul-betul dipantau di lapangan seperti apa,” ucapnya.
Menurutnya, BPOM juga perlu melibatkan berbagai sektor organisasi kemasyarakatan yang peduli terhadap kesehatan bayi dan anak-anak untuk mempercepat sosialisasi peraturan itu di masyarakat.
“Kami merasa secara formal BPOM belum pernah melibatkan organisasi masyarakat untuk memantau langsung implementasi peraturan itu di lapangan,” katanya.
Dia mengatakan BPOM juga perlu membuat iklan layanan masyarakat di media, poster, dan spanduk spanduk untuk mensosialisasikan tentang peraturan itu agar lebih cepat dipahami masyarakat. “Itu perlu dilakukan mumpung masih ada waktu dua bulan lagi,” tukasnya.
Senada dengan Aisyiyah, Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara, memibta BPOM nantinya dapat bertindak tegas terhadap produsen kental manis yang tidak menjalankan aturan yang telah ditetapkan.
“Peraturan itu harus ditegakkan dengan benar. Karena sekalinya kita memberi kelonggaran ke salah satu produsen Kental Manis yang melanggar, itu akan diikuti sama produsen yang lain. Kita otomatis juga akan jalan di tempat dan tidak ada perubahan untuk menghentikan kecurangan-kecurangan yang telah mereka lakukan selama ini. Jadi BPOM dalam hal ini harus bersikap tegas dalam pengenaan sanksi itu. Tidak bisa mian-main karena ini menyangkut kesehatan bayi dan anak-anak kita,” ujar Erna Yulia Soefihara.
Sebelumnya, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU melakukan penelitian dengan responden 2.068 ibu yang memiliki anak usia 0 – 59 bulan atau 5 tahun.
Penelitian itu terkait pola konsumsi dan persepsi susu kental manis di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan Maluku.
Hasilnya, 28,96 persen dari total responden mengatakan Kental Manis adalah susu pertumbuhan.
Sebanyak 16,97 persen ibu yang menjadi responden mengaku memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Penelitian hasil survei menemukan sumber kesalahan persepsi, sebanyak 48% ibu mengakui mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak adalah dari media, baik TV, majalah/ koran dan sosial media.
Sebanyak 16,5 persen responden mengatakan informasi tersebut didapat dari tenaga kesehatan.
Temuan menarik lainnya adalah, kategori usia yang paling banyak mengkonsumsi kental manis adalah usia 3 – 4 tahun sebanyak 26,1 persen, lalu anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9 persen.
Sementara konsumsi kental manis oleh anak usia 1 – 2 tahun sebanyak 9,5 persen, usia 4-5 tahun sebanyak 15,8 persen dan 6,9 persen anak usia 5 tahun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman sehari-hari.
Dihat dari kecukupan gizi, 13,4 persen anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7% berada pada kategori gizi kurang dan 35,2 persen adalah anak dengan gizi lebih.
Tak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan YAICI, Aisyiyah dan PP Muslimat NU, Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) pun melakukan edukasi sekaligus pengumpulan fakta di masyarakat mengenai kebiasaan konsumsi kental manis pada balita.
Hasilnya, disetiap wilayah sasaran selalu ditemukan balita yang mengkonsumsi kental manis sebagai pengganti ASI atau susu.
Ketua bidang Advokasi KOPMAS, Rita Nurini mengatakan sejak awal tahun pihaknya telah kembali turun ke masyarakat guna mengawal pelaksanaan peraturan BPOM tentang kental manis. Sasarannya adalah daerah-daerah padat penduduk di sekitar Jabodetabek.
“Jika melihat karakteristik wilayah sasaran edukassi kami, memang termasuk padat penduduk, tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Misalnya Rawa Lumbu di Bekasi dan Karawaci Baru di Tangerang yang sudah kami jajaki sejak Januari kemarin. Ini kan masih di kota, masih di lingkup Jabodetabek, tapi informasi bahwa kental manis itu bukan untuk dikonsumsi anak, kandungan gulanya yang lebih dari 50 persen ini tidak sampai ke masyarakat. Di Karawaci kemarin malah ada yang anaknya konsumsi kental manis sejak lepas ASI, sehari 5-6 kali. Jadi 1 kaleng kental manis itu untuk konsumsi 1 balita dalam 1 hari, ini mengkhawatirkan,” jelas Rita.
“PerBPOM No 31 tahun 2018 ini adalah bentuk perlindungan terhadap masa depan anak-anak kita. Bila aturan ini hanya dibuat tapi tidak dijalankan, dimasa mendatang kita masih akan menemui anak-anak dengan diabetes, kurang gizi hingga stunting. Kami sendiri berharap BPOM dapat memperketat aturan-aturan mengenai kental manis, setidaknya BPOM memperketat pengawasan penerapan pasal-pasal tentang kental manis oleh produsen,” tutup Rita Nurini.