Cuitan Larang Tanya Jenis Kelamin Bayi Baru Lahir Saat Menjenguk Ramai di Twitter, Ini Kata Psikolog
Dalam cuitannya, akun ini meminta masyarakat agar tak lagi menanyakan jenis kelamin pada bayi yang baru lahir. Ini kata psikolog.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Media sosial Twitter dihebohkan dengan cuitan satu di antara penggunanya.
Cuitan itu merupakan pendapat dari netizen dengan akun @AkuSukaMasak.
Ia menuliskan kebiasaan masyarakat saat menjenguk orang yang baru saja melahirkan.
Dalam cuitannya, akun @AkuSukaMasak meminta masyarakat agar tak lagi menanyakan jenis kelamin pada bayi yang baru lahir.
Menurutnya, orang yang menjenguk cukup memberikan ucapan selamat pada keluarga yang dikaruniai buah hati.
"Biasakan mengucapkan selamat kepada keluarga yang baru melahirkan tanpa nanya, 'bayinya laki atau perempuan?'" begitu bunyi cuitan yang dibuatnya.
Baca juga: VIRAL Pria Beli Sepeda Sultan Seharga Rp 150 Juta, Harus Fitting Dulu Sebelum Membeli
Baca juga: VIRAL Aksi Para Pemuda Bawa Perabotan Rumah ke Kondangan sebagai Hadiah Nikah, Ini Kisahnya
Sontak cuitan dari akun tersebut viral dan ramai dibahas di Twitter, Rabu (10/3/2021).
Hingga saat ini, cuitan tersebut telah mendapat lebih dari delapan ribu likes serta sudah dibagikan ulang oleh ribuan akun.
Ribuan komentar juga dituliskan oleh warganet sebagai respons cuitan tersebut.
Banyak warganet berpendapat baik antara setuju maupun tidak setuju atas pendapat @AkuSukaMasak.
Sejumlah warganet menuliskan kalimat protes dengan disertai pendapat-pendapat kocak.
"Perlunya bertanya bayinya laki atau perempuan itu agar; tidak salah beli kado (pakaian, mainan, warna kado)."
"YA MASA MAU ANAKMU NANTI LAHIRNYA COWOK DIKASIH KADO BARBIE, BONEKA SERBA PINK!!" tulis akun @callmeinyo.
Ada juga pendapat warganet lain yang memberikan alasan yang masuk akal mengenai cuitan tersebut.
Seperti komentar @Rinto_114: "Pada bbrp suku dan budaya, ada jenis kelamin tertentu yg diharapkan lahir dr seorang ibu."
"Jika yg lahir ternyata bukan jenis kelamin yg diharapkan oleh si ibu atau keluarga besarnya, pertanyaan jenis kelamin tsb bisa melukai."
Bahkan, ada warganet yang mempertanyakan mengapa saat ini banyak topik pembicaraan menjadi sensitif untuk dibicarakan.
"Kenapa gak boleh? Bingung ya zaman sekarang setiap topik kayaknya kok jadi sensitif banget."
"Jadi bingung mau ngobrol apa sama orang lain soalnya topik ini itu salah. Nanti nyambungnya ke mental health dll. Hufffft," balas @RAwulandari.
Ada juga warganet yang tidak memprotes Astrid, tapi memilih untuk memberikan masukan pilihan kata-kata agar tidak menyinggung perasaan keluarga si bayi.
"Kalo penasaraan tapi takut menyinggung atau kepikiran yg lain-lain, ganti aja pertanyaannya, Selamat ya, nama baby nya siapa?, easy wkwkwkk," tulis @timmymalachi.
Pendapat Psikolog
Sementara itu, menurut psikolog keluarga, Adib Setiawan SPsi MPsi pertanyaan mengenai pantas atau tidaknya seseorang menanyakan jenis kelamin pada bayi adalah hal wajar.
"Sebenarnya seseorang menanyakan jenis kelamin wajar," kata Adib saat dihubungi Tribunnews, Kamis (12/3/2021).
Umumnya, lanjut Adib, orang akan senang saat wanita telah melahirkan buah-hati.
Ia juga akan senang jika orang lain memberikan perhatian kepada keluarga dan anaknya.
Namun apabila seseorang memiliki pendapat yang berbeda, tentunya sah saja.
Hal ini tergantung dari sudut pandang masyarakat.
Adib mengatakan, terkadang pengalaman masa lalu juga dapat membuat seseorang merasa minder.
Perasaan seperti ini bisa dikarenakan seseorang pernah mengalami diskriminasi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan gender.
"Mungkin yang membuat status merasa mendapatkan diskriminasi dari saudaranya."
"Sebenarnya sistem patriarki sudah usang, karena ini sudah zamannya emansipasi."
"Di mana anak laki-laki dan perempuan memiliki status, hak yang setara," jelas Adib.
Adib menjelaskan, banyak faktor yang mengakibatkan kondisi sesorang merasa mendapatkan diskrimasi dari orang sekitar.
Hal ini yang membuat seseorang sangat sensitif terhadap pembicaraan yang berkaitan dengan gender.
"Korban diskriminasi juga sering kali sulit move on dari peristiwa sepele yang membuatnya tersinggung," ujar Adib.
Faktor Seseorang Merasa Sensitif
Psikolog dari Yayasan Praktek Psikolog Indonesia (YPPI) ini juga menjelaskan, ada banyak faktor yang membuat seseorang merasa sensitif terhadap pertanyaan tersebut.
Selain mendapatkan perlakuan diskriminasi, ia mungkin juga merasa mendapatkan tekanan dari orang-orang sekitar.
"Bisa jadi,mungkin kakek nenek, suami atau mertua berharap mendapatkan bayi laki-laki. Namun yang didapat bayi perempuan."
"Sehingga membuat sang ibu mengalami kasus diskriminasi jadi minder atau merasa bersalah."
"Atau seolah-seolah suami kurang menghargai istri karena jenis kelamin sang bayi," kata dia.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan suami baik saat perencanaan atau pasca melahirkan juga membuat seseorang tertekan.
"Dalam istilah psikologi sering disebut displacement atau pengalihan, ketidaknyamanan hubungan pernikahan dgn suami dialihkan ke sosok bayi, padahal tidak ada hubungannya," tambah Adib.
Kehidupan akan harmoni apabila suami dan istri sama-sama memahami konsep kesetaraan dalam berdiskusi dalam menentukan visi misi keluarga ke depan.
Jadi, bicarakan dengan baik dengan suami ataupun keluarga terhadap masalah yang sedang terjadi.
Agar kehidupan batiniah menjadi lebih baik dan tidak terlalu sensitif terhadap hal-hal yang merugikan diri sendiri.
(Tribunnews.com/Galuh Wardani)