Jenny Mahastuti Jatuh Cinta Pada Kearifan Lokal Suku Baduy
Kehidupan pelukis Jenny Mahastuti terbilang unik, karena selain pelukis, Jenny juga seorang pendaki gunung dan juga penulis buku.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kehidupan pelukis Jenny Mahastuti terbilang unik, karena selain pelukis, Jenny juga seorang pendaki gunung dan juga penulis buku.
Untuk melukis sebuah kehidupan masyarakat, Jenny Mahastuti tidak segan-segan tinggal dan menetap dalam sebuah komunitas yang ingin dia abadikan di atas kanvas seperti halnya kehidupan Suku Baduy, Banten.
Sejak tahun 2004, sudah ratusan kali Jenny Mahastuti datang dan tinggal dalam kurun waktu tertentu demi menjiwai kehidupan Suku Baduy.
"Kearifan lokal Suku Baduy yang unik membuat saya jatuh cinta sehingga sering berkunjung ke Baduy," ungkap Jenny Mahastuti ketika ditemui dalam pameran tunggalnya di lantai 4 Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin sore, (15/3/20221).
Salah satu lukisan Jenny Mahastuti bercerita tentang pernikahan yang dilakukan secara sederhana. Dimana baju yang dikenakan oleh mempelai tidak berbeda dari baju khas Suku Baduy umumnya yakni putih, hitam atau biru dengan ikat kepala warna biru atau putih.
Tidak ada resepsi di gedung dengan gaun pengantin yang gemerlap. Semua yang hadir berpakaian sama dan bertelanjang kaki.
"Suku Baduy selama ini dikenal sebagai suku yang memegang teguh adat. Bagi Suku Baduy Dalam pernikahan hanya sekali seumur hidup. Tidak ada perceraian atau poligami," ujar Jenny Mahastuti yang telah menghasilkan ribuan lukisan dan sketsa.
Dalam perkawinan tersebut digambarkan mempelai wanita membawa Ayam Jago dan mempelai pria membawa Ayam Betina untuk saling dipertukarkan.
Jenny Mahastuti juga bercerita tentang kematian pada masyarakat Baduy yang disebut kaparupuhan. Ketika mendengar berita kematian seseorang tidak ada jeritan maupun isak tangis, karena hal tersebut tabu dilakukan.
Warga kampung serta kerabat berdatangan menunjukkan rasa duka cita mereka yang mendalam kepada keluarga yang ditinggalkan.
Dalam masyarak adat Baduy, ketika terjadi kemalangan mereka datang sambil membawa beras, kelapa, gula aren atau makanan yang sudah siap dihidangkan.
Mereka pun tanpa ragu menyingsingkan baju dan mengulurkan tangan membantu segala sesuatu terkait dengan pengurusan jenazah dan upacara penguburan.
Selain itu, mereka juga bergotong royong membantu keluarga yang ditinggalkan untuk keperluan hajatan kematian.
"Masyarakat Baduy menandai kuburan tersebut dengan Pohon Hanjuang. Tidak ada gundukan kuburan," jelas Jenny Mahastuti yang asli Jawa namun fasih berbahasa Sunda itu.
Ada hal yang unik, jelas Jenny Mahastuti, jika isteri Puun atau Kepala Adat sakit keras, maka Puun harus meletakan jabatannya secara sukarela agar dapat merawat pasangan hidupnya.
Dalam pameran lukisan ini, Jenny Mahastuti yang menampilkan tujuh puluhan sketsa kehidupan Suku Baduy dan tiga puluhan lukisan kehidupan Baduy, juga melakukan peluncuran buku bertajuk ‘Gerimis di Tanah Titipan Kanekes’ yang telah dipesan Pemda Banten sebanyak 1.000 buku.