Sindir Jokowi, Politisi Demokrat Sebut Istana Berubah Jadi Posko Pembentukan dan Pemenangan Koalisi
Demokrat menyampaikan tindakan Presiden Jokowi tersebut dinilai bukanlah sebagai sikap seorang yang negarawan.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat menyebut tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengumpulkan sejumlah ketua umum partai politik (parpol) di istana menurunkan demokrasi.
Partai berlambang mercy itu menilai istana kini berubah menjadi posko pemenangan dan pembentukan koalisi.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menyampaikan tindakan Presiden Jokowi tersebut dinilai bukanlah sebagai sikap seorang yang negarawan.
Sebab pemimpin seharusnya netral dalam pemilihan presiden.
"Ini mendesepsi dan melecehkan kewarasan publik. Men-down-grade demorkasi. Istana berubah menjadi posko pembentukan koalisi dan pemenangan," ujar Kamhar saat dikonfirmasi, Jumat (5/5/2023).
Baca juga: Respons Elite NasDem Jokowi Akui Tak Undang Surya Paloh ke Istana: Itu Pertemuan Koalisi Pemilu 2024
Kamhar menyatakan Presiden Jokowi tidak bisa mengelak memakai istana untuk pembahasan koalisi lantaran mengakui tak mengundang partai NasDem dalam pertemuan tersebut.
"Pernyataan Pak Jokowi semakin menegaskan bahwa kegiatan di Istana Negara adalah konsolidasi politik untuk kontestasi Pilpres 2024," jelasnya.
Apalagi, kata Kamhar, Presiden Jokowi juga sudah secara terang-terangan melakukan dukungan kepada capres tertentu.
Sebaliknya tidak diundangnya NasDem dalam pertemuan itu karena bertentangan dengan pilihan politiknya.
"Kasak-kusuk Presiden Jokowi pada pengkondisian pencalonan pasangan tertentu dan upaya menjegal paslon yang tak dikehendaki menjadi tanda ia tak memiliki komitmen terhadap demokrasi dan politik kenegarawanan. Sejarah ini akan mencatat ini sebagai legacy yang buruk," jelas Kamhar.
Dia pun meminta agar Presiden Jokowi banyak belajar dari kepemimpinan SBY saat mengakhiri masa jabatannya pada 2014 lalu.
Kamhar bilang Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat itu berhasil menjaga iklim demokrasi.
Dia juga menyentil Sekretaris Kabinet RI Pramono Anung yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPR RI selalu meminta SBY untuk bersikap netral.
Khususnya tak membicarakan politik praktis di istana yang akan menurunkan marwah dan citra istana.
"Pak SBY sudah membuktikan, alhamudlillah sukses sebagai seorang negarawan dan demokratis sejati. Justru berkebalikan dengan apa yang dipertontonkan penguasa saat ini. 180 derajat bertolak belakang," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya berkomentar tegas terkait tidak hadirnya Ketum Nasdem Surya Paloh dalam pertemuan dengan para pimpinan Parpol pendukung pemerintah di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, (2/5/2023).
Jokowi mengatakan tidak hadirnya Surya Paloh karena memang tidak diundang.
“Ya memang gak diundang,” kata Jokowi di Gedung Sarinah, Jakarta, Kamis, (4/5/2023).
Jokowi mengatakan Nasdem saat ini sudah memiliki koalisi sendiri dalam Pilpres 2024.
Sementara itu partai yang diundang ke Istana merupakan partai pendukung pemerintah yang menjalin kerjasama politik ke depan.
Jokowi khawtir bila Nasdem diundang maka akan mengetahui startegi politik partai-partai di luar koalisi NasDem pada Pilpres 2024.
“Nasdem itu ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerjasama politik yang lain. Mestinya ini kan memiliki strategi besarnya apa, ya masa yang disini tahu strateginya. Kan mestinya tidak seperti itu,” katanya.
Untuk diketahui NasDem yang merupakan partai koalisi pemerintah justru mendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024 bersama dengan PKS dan Demokrat yang merupakan partai oposisi.
Sementara itu partai pendukung pemerintah yang lain seperti PDIP dan PPP telah mendukung Ganjar, lalu Gerindra mendukung Prabowo Subianto, sementara Golkar, PAN, dan PKB belum memutuskan Capres yang akan didukung.
Meskipukn demikian kata Jokowi, sikap NasDem tersebut dalam politik wajar wajar saja. Dirinyapun boleh bersikap karena seorang presiden selain sebagai pejabat publik juga merupakan pejabat politik.
“Dalam politik itu wajar-wajar saja, biasa. Dan saya itu adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Jadi biasa kalau saya berbicara politik ya boleh dong. Ya kan, saya berbicara berkaitan dengan pelayanan publik juga bisa dong. Ya memang ini tugas, tugas seorang presiden. Hanya memang kalau sudah ada ketetapan KPU saya itu (angkat tangan),” pungkasnya.