Pengamat: Sistem Pemilu Proposional Tertutup Bikin Caleg Fokus Berebut Nomor Urut
Pengamat Politik Arifki Chaniago membeberkan dampaknya jika Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Arifki Chaniago membeberkan dampaknya jika Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.
Arifki Chaniago mengatakan jika sistem itu diterapkan maka para calon legislatif (caleg) bakal fokus berebut nomor urut ketimbang meningkatkan elektabilitas.
Sebab sistem pemilu tertutup secara tidak langsung menyebabkan caleg harus kehilangan kepastian karena yang menentukan terpilih atau tidaknya sebagai legislator bukan rakyat tetapi keputusan partai politik (parpol).
“Para caleg bakal fokus berebut nomor urut dari pada meningkatkan elektabilitasnya di tengah-tengah masyarakat. Pertarungan caleg ditarik dari percakapan rakyat menjadi percakapan elite partai," kata Arifki dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/6/2023).
"Tidak salah nantinya masyarakat ibarat membeli kucing di dalam karung, caleg yang dipilih oleh masyarakat nyatanya tidak terpilih dan dikalahkan oleh caleg pilihan partai”, tambah Arifki.
Baca juga: PDIP Ungkap Kesepakatan Megawati dan Zulhas saat Pertemuan Tertutup
Lebih lanjut, Arifki menegaskan keadilan bagi para caleg bakal rendah jika sistem proporsional tertutup dilakukan tanpa ada mekanisme penentuan yang benar dalam pembagian nomor urut kepada caleg.
"Parpol yang tidak memiliki brand party yang kuat bakal berhadapan dengan caleg yang ogah-ogahan karena lemahnya keterkaitan caleg dengan kelembagaan partai”, tuturnya.
Pemilu serentak 2024, jelas Arifki, tidak hanya memilih caleg tetapi juga calon tapi juga presiden yang manan nantinya juga bakal berdampak terhadap agenda perubahan sistem pemilihan dari terbuka ke tertutup.
Dampaknya adalah, para caleg tidak bakal mau memperjuangkan dan mengkampanyekan calon presidennya di masyarakat. Selain dampak yang tidak signifikan ihwal sosialisasi capres dengan terpilihnya mereka sebagai legislator, ini bakal memperlemah mesin politik partai dalam mendukung capres.
“Caleg dengan nomor urut apapun di sistem propersional terbuka cukup fair bagi mereka untuk bisa terpilih sebagai legislator. Efek ekor jas yang mereka dapatkan dari mendukung capres juga realistis bagi mereka untuk mengkampanyekannya di masyarakat karena bakal ada dampaknya secara tidak langsung. Masyarakat bakal melihat figur capresnya dan figur calegnya", tutup Arifki.
Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui masih menggelar sidang uji materi atas sistem proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Perkara itu teregister dengan Nomor 114/PUU-XX/2022 oleh enam penggugat, salah satunya pengurus PDI Perjuangan yaitu Demas Brian Wicaksono.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.
Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.