MK Sebut Konstitusi Indonesia Tak Menentukan Jenis Sistem Pemilu
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan konstitusi Indonesia tidak pernah menentukan soal jenis sistem yang digunakan dalam pemilu.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, sepanjang sejarahnya konstitusi Indonesia tidak pernah menentukan soal jenis sistem yang digunakan dalam pemilu.
Menurut MK, pilihan sistem pemilu tersebut diatur oleh pembentuk Undang-undang, yakni DPR RI.
Baca juga: Pakar Khawatir Pemilu 2024 Bakal Ditunda jika MK Putuskan Sistem Proporsional Tertutup
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo, saat membacakan pertimbangan hakim MK atas putusan uji materi perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 itu, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2023).
"Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama ketentuan-ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, in casu pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif," ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo, di Jakarta, Kamis ini.
Suhartoyo mengatakan, UUD 1945 hasil perubahan juga tak menentukan sistem pemilihan umum untuk legislatif.
"UUD 1945 hasil perubahan pun tidak menentukan sistem pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD. Dalam hal ini, misalnya, Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menyatakan anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum," kata Hakim Suhartoyo.
Sebagai informasi, hari ini MK membacakan putusan perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022 soal uji materi sistem Pemilu.
Baca juga: Putusan Sistem Pemilu Hanya Dihadiri 8 Hakim, Jubir MK: Hakim Wahiduddin Adams Tugas ke Luar Negeri
Pembacaan putusan ini dilakukan dengan 5 putusan lainnya.
Adapun permohonan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono.
Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal itu dikarenakan, dalam hal penentuan caleg terpilih oleh (Komisi Pemilihan Umum) KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (23/11/2022) dan sidang terakhir digelar pada Selasa (23/5/2023) dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait.