Pemungutan Suara Pemilu 2024 Masih Konvensional, KPU: Perlu Dibahas Serius Jika Ingin Pakai E-Voting
Namun mengacu dari putusan MK, masih banyak syarat yang dipenuhi supaya e-voting bisa diterapkan, mulai dari cyber security, literasi digital
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menegaskan proses pemungutan suara dalam Pemilu 2024 masih menggunakan cara konvesional dengan melakukan pencoblosan surat suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Meski sudah ada ruang hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan diatur dalam Undang-Undang terkait pemungutan suara dengan basis electronic voting (e-voting), tentu hal itu dirasa Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik tak akan mudah.
Baca juga: Forum Komunikasi Jogja Raya Siap Mendukung Keamanan Pemilu 2024 di Daerah Istimewa Yogyakarta
“Berkaitan dengan electronic voting atau internet voting di pemilu serentak 2024, hal tersebut belum kita laksanakan,” ujar Idham kepada awak media, Jumat (13/10/2023).
“Pemberian suara masih menggunakan metode konvensional yang selama ini berlaku di Indonesia dengan cara memberikan coblosan secara langsung di bilik suara dengan surat suara yang g konvensional,” sambungnya.
Baca juga: 12 Wilayah Hukum Polda Sangat Rawan & Jadi Prioritas Selama Pelaksanaan Pemilu 2024, Ini Daftarnya
Idham menjelaskan di UU Pilkada khususnya UU No. 10 tahun 2016 pasal 85 ayat (1) huruf c dan ayat 2a, memang sudah memungkinkan untuk dilakukannya e-voting.
Namun mengacu dari putusan MK, masih banyak syarat yang dipenuhi supaya e-voting bisa diterapkan, mulai dari cyber security, literasi digital pemilih, hingga infrastruktur.
“Jadi ada banyak faktor yang harus dipenuhi dan kalau kita bicara tengang pemberian suara lewat teknologi informasi menjdi penting bagi untuk mendiskusikan tentang asas kerahasiaan di era digital,” tuturnya.
“Karena kita ketahui teknologi internet itu selalu menyisakan jejak yang dikenal dengan istilah digital footprint atau digital tracing,” tambah Idham.
Jika memang dalam pemilu ke depan akan menggunakan e-voting, maka hal ini kata Idham harus dibicarakan dengan serius dengan pembentuk UU.
“Maka harus ada UU khusus yang membahas atau menjamin tentang kerahasiaan dalam pembebasan suara karena rahasia adalah salah satu asas dalam penyelenggaraan pemilu,” tandasnya.
Sebagai informasi putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 memang membuka ruang penggunaan teknologi dalam pemungutan dan penghitungan suara di Tanah Air.
Putusan MK tersebut dikeluarkan atas pengujian Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah (pilkada).
Baca juga: Praktisi Hukum Ingatkan Pentingnya Keberadaan Peradilan Khusus Pemilu
Putusan tersebut kemudian dituangkan ke di UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebanyak tiga pasal.
Pasal yang dimaksud, Pasal 85 ayat 1 huruf a yang menyebutkan, pemberian suara pilkada dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Pada Pasal 85 ayat 2 huruf a dijelaskan, pemberian suara secara elektronik dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
Terakhir, Pasal 85 ayat 2 huruf b menyebutkan, dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian telah dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos. Dengan demikian, cara pemilihan untuk menggunakan e-voting dilakukan dengan memiliki minimal dua calon kepala daerah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.