Jelang Putusan Batas Usia Cawapres, Muncul Spanduk yang Sindir MK
Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan sidang putusan gugatan terkait usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden, Senin besok.
Penulis: Erik S
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews, Erik Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan sidang putusan gugatan terkait batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023).
Jelang sidang putusan tersebut, ternyata muncul spanduk yang bernada satire terhadap MK.
Dari video yang beredar berlokasi di Flyover Martadinata Kota Bogor, Jawa Barat, muncul spanduk yang bergambar depan MK. Namun MK ditulis sebagai Mahkamah Keluarga.
Si perekam dalam video tersebut menyinggung MK harusnya menjadi milik negara dan tidak digunakan sebagai milik keluarga.
"Emang mahkamah milik keluarga, bukannya menaungi negara ya?," demikian kata si perekam dalam video.
Pendapat Pakar Hukum UGM
Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) sekaligus pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menilai MK melanggar UUD 1945 jika mengubah batas usia capres-cawapres melalui putusannya nanti.
Oce menyampaikan, MK telah menegaskan bahwa isu konstitusionalitas persyaratan usia minimum bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik, merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Sehingga, artinya, penentuan persyaratan usia minimum bagi pejabat publik merupakan kewenangan sepenuhnya dari pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. Bukan MK.
"UUD 1945 tidak mengatur soal angka-angka atau syarat usia sebuah jabatan publik. Berbagai jenis jabatan publik di pemerintahan, persyaratan usianya diatur dalam undang-undang. Khususnya berkaitan dengan Pemilihan Presiden, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang," ucap Oce Madril, dalam keterangannya, Jumat (13/10/2023).
Pakar hukum UGM itu menjelaskan, Pasal 169 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah mengatur persyaratan capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun. Sehingga telah jelas, syarat usia yang ditentukan oleh UU Pemilu sebagai peraturan delegasi dari Pasal 6 UUD 1945.
"Apabila kemudian MK mengubah syarat usia minimal capres/cawapres atau menambahkan syarat baru, seperti 'berpengalaman sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah', tentu hal tersebut melanggar prinsip open legal policy yang ditegaskan dalam berbagai putusan MK," kata Oce.
Baca juga: Makin Panas Kini Gibran Diserang Sindiran Soal Mahkamah Keluarga
"Bahkan lebih jauh, hal tersebut dapat dikatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang telah memerintahkan agar syarat Capres/Cawapres diatur dalam UU Pemilu," ungkapnya.
Lebih lanjut, Oce menyoroti putusan MK No. 112/PUU-XX/2022 yang berkaitan dengan syarat usia minimal 50 (lima puluh) tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK.
Menurutnya, dalam putusan tersebut, MK tidak mengubah syarat usia minimal, tetapi menambahkan syarat bahwa seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK, maka dapat mencalonkan kembali untuk menjadi Pimpinan KPK pada periode kedua, meskipun umurnya kurang dari 50 tahun.
Melalui putusan MK nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut, Oce menilai, dapat ditarik kesimpulan bahwa MK tidak mengubah usia minimal untuk menjadi pimpinan KPK yang telah ditentukan dalam UU KPK.
"Bahwa MK memang menambahkan syarat baru, tetapi syarat tersebut sangat terbatas hanya berlaku bagi pimpinan KPK yang sedang menjabat apabila ingin mencalonkan kembali menjadi pimpinan KPK di periode kedua. Syarat baru tersebut tidak berlaku bagi umum, jadi sangat spesifik," kata Oce.
"Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hingga saat ini sebenarnya MK masih konsisten dengan pendiriannya mengenai syarat usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang ditentukan oleh undang-undang, bukan oleh putusan MK," sambungnya.
Ia menegaskan, jika nantinya MK mengubah pendiriannya dalam putusan berkaitan dengan usia minimal capres-cawapres, maka MK dapat dianggap larut dalam dinamika politik Pilpres yang akhir-akhir ini disaksikan oleh publik secara luas.
"Inkonsistensi sikap MK ini dapat menurunkan kredibilitas MK sebagai the guardian of constitution," kata Oce Madril.