Dugaan Anwar Usman, Jokowi, Gibran, Kaesang Jadikan MK Sebagai Mahkamah Keluarga Tak Terbukti
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan dugaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai 'Mahkamah Keluarga' tidak terbukti.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan dugaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai 'Mahkamah Keluarga' tidak terbukti.
(Yusril memberi pendapat baru setelah keluarnya putusan MK terkait batas usia 40 tahun dan atau pernah berpengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu dapat maju Pilpres 2024, Baca: Akui Terkecoh, Yusril Sebut Putusan MK Mengandung Penyelundupan Hukum)
Hal ini merespons putusan MK menolak uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun yang diajukan PSI.
Sebab, Ketua MK Anwar Usman merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di mana, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka digadang-gadang akan maju sebagai cawapres bila gugatan dikabulkan.
"Dugaan bahwa Anwar, Jokowi, Gibran, dan bahkan Kaesang (Kaesang Pangarep) yang belakangan menjadi Ketua PSI sebagai Pemohon akan menjadikan MK sebagai "Mahkamah Keluarga" ternyata tidak terbukti," kata Yusril dalam keterangannya, Senin (16/10/2023).
Yusril mengatakan melalui putusan tersebut menunjukkan MK sebagai penjaga konstitusi dan tak bisa diintervensi.
"Dengan Putusan ini, MK dapat memposisikan diri sebagai penjaga konstitusi dan tidak mudah diintervensi oleh siapa pun juga," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak mengabulkan gugatan batas usia capres cawapres menjadi 35 tahun. Mulanya, UU Pemilu mensyaratkan usia minimal capres cawapres berusia 40 tahun.
"Amar putusan, mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya" kata Ketua MK Anwar Usman dalam ruang sidang MK, Jakarta Senin (16/10/2023).
Salah satu pertimbangannya, MK menyatakan pengaturan persyaratan usia minimal capres cawapres, original intent terhadap Pasal 6 ayat (2) UUD 1994 serta putusan-putusan MK terkait dengan batas usia jabatan publik.
"Persyaratan batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan usia calon presiden dan calon wakil presiden," ujar Hakim Saldi Isra saat membaca pertimbangan
Bagi MK, lanjut Saldi Isra, yang penting penentuan batas minimal usia capres cawapres tidak boleh menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara yang dalam penalaran wajar potensial diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagai capres atau cawapres.
Sebagaimana diketahui, sejumlah penggugat mengajukan uji materil terhadap Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017. Salah satu penggugat ialah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang meminta usia capres/cawapres minimal 35 tahun.
Pasal yang digugat yaitu Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang berbunyi:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
"Menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 35 tahun," demikian petitum pemohon.