Denny Indrayana Minta Putusan MK Soal Syarat Usia Capres-Cawapres Tidak Digunakan pada Pilpres 2024
Putusan itu menjadi sorotan sebab dinilai menjadi karpet merah untuk meloloskan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka maju menjadi bakal Cawapres
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana meminta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak digunakan sebagai dasar syarat kompetisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Sebagaimana diketahui, putusan itu menjadi sorotan sebab dinilai menjadi karpet merah untuk meloloskan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka maju menjadi bakal calon presiden (cawapres).
Dalam sidang MKMK yang berlangsung di Gedung II MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023) hari ini Denny berharap adanya putusan provisi yang dapat mengoreksi Putusan 90 itu.
Baca juga: Sidang Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim, MKMK Periksa Denny Indrayana dan 16 Guru Besar
“Karena itulah pelapor mengusulkan, Putusan 90 tidak boleh digunakan sebagai dasar maju berkompetisi dalam Pilpres 2024,” ujar Denny dalam sidang yang ia ikuti secara daring, Selasa.
“Perlu ada putusan provisi untuk menunda pelaksanaan dari putusan 90 yang menabrak nalar dan molar konstitusional tersebut,” ia menambahkan.
Seandainya penundaan eksekusi Putusan 90 itu betul diteken MKMK lewat putusan provisi, maka otomatis pencalonan Gibran yang bergulir di KPU RI kehilangan dasar hukum karena usianya jadi tidak memenuhi syarat.
Lebih lanjut, Deny juga meminta supaya MK melakukan pemeriksaan ulang untuk Perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda tanpa melibatkan Hakim Ketua Anwar Usman selaku terlapor.
"MKMK yang mulia semoga berkenan untuk menyatakan tidak sah Putusan 90 atau paling tidak memerintahkan agar MK melakukan pemeriksaan ulang perkara 90 itu dengan komposisi hakim yang berbeda, tanpa hakim terlapor," jelasnya.
Denny mengungkapkan ihwal Putusan 90 ini terindikasi hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir.
Denny juga menilai tingkat pelanggaran etik dan kejahatan politik yang dilakukan dalam perkara nomor 90 ini bersifat merusak dan meruntuhkan pilar kewibawaan MK.
Mega skandal ini, seperti kata Denny, melibatkan tiga elemen tertinggi, yakni Ketua MK Anwar Usman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, dan kantor kepresidenan RI.
Baca juga: Jimly Minta Denny Indrayana Hadiri Langsung Sidang di MK, Jangan Cuma Online dari Australia
"Sehingga dengan semua elemen tertinggi demikian, tidaklah patut jika pelanggaran etika dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan kejahatan yang biasa-biasa saja dan cukup dijatuhkan sanksi etika semata," jelas Denny.
Mengingat dampak yang seperti kata Denny, begitu dahsyat atas putusan nomor 90 ini, maka prinsip putusan MK harus dihormati sebagai yang terakhir dan mengikat, kali ini harus dibuka opsi pengecualian.
"Exception. Justru demi menjaga kewibawaan, kehormatan, dan keluhuran mahkamah konstitusi itu sendiri," pungkasnya.
Dalam sidang yang berlangsung terbuka ini MKMK memberikan kesempatan kepada para staf ahli hakim terlapor dan pemohon untuk hadir.
Baca juga: Denny Indrayana Prediksi Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres Dikabulkan, 5 Hakim Setuju
Sidang pemeriksaan ini diikuti oleh Denny Indrayana serta 16 guru besar dan pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) selaku pelapor.
Sebagai informasi, ada dua sidang yang berlangsung hari ini. Sidang pemeriksaan pelapor yang berlangsung terbuka pagi ini. Serta sidang pemeriksaan terlapor—hakim konstitusi Anwar Usman dan Saldi Isra—yang akan berlangsung tertutup pada malam nanti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.