Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soroti MK, Politikus PDIP: Idealnya Setiap Putusan Berdasarkan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon wakil presiden banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan. 

Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Soroti MK, Politikus PDIP: Idealnya Setiap Putusan Berdasarkan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan
Tribunnews/JEPRIMA
ILUSTRASI Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon wakil presiden banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan. 

Selain, dianggap terkesan mengakomodir kepentingan elite-elite politik tertentu, putusan tersebut juga dianggap tidak mencerminkan prinsip keadilan hukum secara substansial.

"Sejatinya setiap putusan hakim yang eksekutable harus mengandung beberapa hal. Pertama, mengandung ethos (integritas). Kedua, pathos (pertimbangan yuridis bukan politis). Ketiga, logos (dapat diterima akal sehat). Jika ketiga hal ini tidak nampak, para pemutus dalam hal ini para Hakim MK patut dipertanyakan kredibilitas dan kapabilitasnya," kata Politikus PDIP, Darmadi Durianto kepada wartawan di Gedung DPR RI, Kamis (2/11/2023).

Selain itu dan yang paling penting, lanjut Bendahara Megawati Institute ini, idealnya tiap putusan harus berdasarkan pada idee des recht.

"Kalau mengutip apa yang dikatakan Gustav Radbruch idealnya setiap putusan harus didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechmassigkeit)," ujarnya. 

MK, tegas anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini, bukanlah panggung teater yang mempertunjukkan kedunguan intelektual.

"MK tempatnya para begawan hukum yang sudah paripurna dari segala kepentingan bersifat pragmatis. Para hakim MK sekarang terlihat seperti para pemain teater yang hanya bekerja atas naskah/script yang dibuat sutradara dari luar," ucapnya.

Berita Rekomendasi

Padahal, jelas dia, jika merujuk pada bunyi pasal 1 UU no 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan berdasarkan pada Pancasila.

"Harusnya mereka bekerja atas dasar hukum bukan atas dasar pesanan oligarki," katanya.

Kondisi semacam ini, kata dia, mengingatkannya pada sebuah cerita dongeng karya Hans Christian Andersen (The Emperor's New Clothes). 

"Dalam dongeng ini diceritakan ada seorang raja memamerkan baju kebesarannya dengan berjalan-jalan ke tempat publik, di tengah kerumunan sekumpulan anak-anak kecil mencela bahwa raja tersebut sebenarnya sedang telanjang. Tentu ini metafor," tuturnya. 

"Artinya, raja atau simbol kekuasaan sebenarnya sedang mempertontonkan kebodohannya dengan segala kemegahannya di hadapan rakyat. Para hakim MK dengan jubah hukum kebesarannya pun persis seperti cerita dongeng itu tadi yaitu mempertontonkan kebodohannya secara telanjang di hadapan rakyat," tambahnya.

Sebagaimana diketahui dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan gugatan permohonan seorang mahasiswa Universitas Negeri Solo (UNS) bernama Almas Tsaqibbirru selaku pemohon.

Baca juga: Diusulkan Masinton PDIP, Ditolak Gerindra, Respons Jimly Soal Hak Angket MK: Ini Masalah Serius

MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon di mana amar putusannya membolehkan seseorang maju sebagai capres-cawapres berumur di bawah 40 tahun dengan syarat pernah atau sedang menjabat kepala daerah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas