UU Pemilu Paling Banyak Digugat ke MK, Jimly: Kepercayaan Publik Harus Dipulihkan!
Lebih lanjut, Jimly mengatakan secara ilmu ketatanegaraan, MK juga memiliki fungsi legislator seperti parlemen.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Acos Abdul Qodir
"UU Pemilu adalah undang-undang yang paling banyak diuji selama Mahkamah Konstitusi berdiri. Bahkan, MK menjadi arena tarik menarik aspirasi atau kepentingan politik para pihak," kata Titi dalam rapat kordinasi Kemenko Polhukam bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Jakarta, pada Selasa (21/11/2023).
"Ada satu kelompok yang meminta syarat usia (capres-cawapres) diturunkan. Ada kelompok lain yang meminta ambang batas usia atas diberlakukan. Itu kan artinya pertarungan kepentingan politik dipindahkan ke MK," sambungnya.
Oleh karena itu, menurutnya, para hakim konstitusi harus mampu melakukan sikap menahan diri di tengah perkara-perkara yang berkaitan dengan aspek politik. Hal itu dilakukan, kata Titi, agar terciptanya stabilitas hukum pemilu.
"Maka kalau kita ingin stabilitas hukum pemilu, MK sebagai negarawan hakim-hakimnya mesti mampu melakukan judicial restraint atau sikap menahan diri. Di mana dia menangani perkara-perkara berkaitan dengan aspek politik untuk tidak terjerumus pada politisasi yudisial," kata Titi.
Selain itu, ia mengatakan, kemampuan menahan diri para hakim MK juga merupakan sebuah kebutuhan agar terhindar dari politisasi yudisial.
"Jadi, satu sisi memang ada tuntutan yang besar pada MK untuk melakukan aktivisme judisial, melakukan terobosan. Tapi di saat yang sama, ini perkara yang kental dengan aroma politik, maka kemampuan menahan diri dari hakim-hakim MK juga sangat dibutuhkan supaya terhindar dari politisiasi yudisial," tuturnya.
Adik Ipar Jokowi Dicopot sebagai Ketua MK usai Muluskan Gibran Cawapres
Sebelumnya, hakim konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.
Baca juga: Dilaporkan ke Bawaslu, TKN Klaim Wajah Bocah di Iklan Prabowo-Gibran Pakai AI
Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," ucapnya.
"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.