Persatuan Masyarakat Sipil Dinilai Penting untuk Cegah Kecurangan Pemilu
Ismail mengatakan, berbagai indikasi ketidaknetralan itu terpampang di depan mata. Seperti pelibatan perangkat desa, hingga dugaan ketidaknetralan
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani menegaskan pentingnya persatuan seluruh kelompok masyarakat sipil atau civil society dalam mengawal Pemilu agar tetap berjalan bersih dan terhindar dari kecurangan.
Ismail mengungkapkan, persatuan masyarakat sipil itu bisa berwujud rembuk atau kongres, yang menghimpun ide dan kekuatan bersama guna mencegah kecurangan pemilu.
"Persatuan ini penting, dan kita harus wujudkan ini di lapangan, bukan sekadar di medsos atau media massa. Sebab yang kita hadapi ini potensi ketidaknetralan aparat negara dalam Pemilu," kata Ismail kepada wartawan, Jumat (24/11/2023).
Ismail mengatakan, berbagai indikasi ketidaknetralan itu terpampang di depan mata. Seperti pelibatan perangkat desa, hingga dugaan ketidaknetralan oknum Polri.
Selain itu, lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, KPU dan Bawaslu akhir-akhir ini juga tak bisa diharapkan dalam menjaga demokrasi.
"Kemudian mengkritik kandidat yang diuntungkan oleh penyelewengan kekuasaan justru dianggap membuat gaduh dan hoaks, lalu ketika ada pihak yang mendorong netralitas, justru berpotensi dikriminalisasi, ini mengerikan," ujar Ismail.
"Di situlah pentingnya masyarakat sipil membangun kekuatan, agar pelaksanaan pilpres dan pemilu 2024 benar-benar terhindari dari kecurangan dan penyelewengan kekuasaan. Masyarakat sipil harus bersatu, jangan tercerai-berai," katanya.
Masyarakat Sipil Punya Peran Wujudkan Pemilu Luber dan Jurdil
Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyebutkan, masyarakat sipil punya peran dalam mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil).
Hal itu disampaikan Titi saat menjadi pembicara dalam kegiatan Senandung Pemilu Damai yang diadakan oleh Kemenko Polhukam.
"Harus satu paket, luber jurdil dan tidak boleh ditunda. Jadi genuine periodic election. Satu paket. Oleh karena itu, saya kira kolaborasi itu bisa diwujudkan terutama oleh kelompok masyarakat sipil termasuk perguruan tinggi untuk melakukan dua hal," kata Titi Rabu (19/7/2023).
Baca juga: KPU: Tanpa HAM, Ada Potensi Pemilu Bermasalah
Pertama, masyarakat dapat melakukan aktivisme sosial. Sebab masyarakat di tengah post-truth era atau era pascakebenaran, banyak yang lebih dominan kepada emosi ketimbang menerima data dan data.
Contohnya, kata Titi, masyarakat yang saat mengakses informasi di media sosial (medsos) hanya menginginkan sesuatu yang ia kehendaki saja tanpa mau menerima fakta dan kebenaran yang ada.
"Kita perlu ambil peran untuk terus memberdayakan masyarakat kita karena kita berada di tengah post-truth society, jadi emosi itu lebih dominan daripada data dan fakta," tuturnya.
"Kadang-kadang, orang baca medsos itu maunya yang sesuai dengan maunya dia saja, dia tidak mau mengakses sesuatu yang jelas-jelas terpercaya. Jadi aktivisme sosial itu terkait pendidikan politik menjadi pekerjaan rumah kita yang harus kita sinergikan bersama," Titi menambahkan.