Ade Armando Singgung Politik Dinasti: Dinilai sebagai Argumen Defensif hingga Terancam Sanksi PSI
Pernyataan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, terkait politik dinasti di Yogyakarta menimbulkan polemik.
Penulis: Muhamad Deni Setiawan
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Pernyataan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, terkait politik dinasti di Yogyakarta menimbulkan polemik.
Pernyataan itu pun telah mendapatkan tanggapan dari pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi.
Selain itu, akibat pendapatnya tersebut, Ade Armando terancam mendapatkan sanksi dari PSI.
Baca juga: Singgung Politik Dinasti, Ade Armando Bakal Dapat Sanksi dari PSI
Argumen Defensif
Menurut Arya, apa yang dilontarkan Ade merupakan argumen defensif untuk membela pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang didukungnya, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Saya pikir dia tahu apa yang disampaikannya, apalagi background dia akademisi sebelum jadi politisi," ujar Arya saat dihubungi, Senin (4/12/2023), dikutip dari TribunJogja.com.
"Dia ingin menyampaikan bahwa ada politik dinasti yang sedang bekerja dan dilembagakan tidak usah jauh-jauh ke istana. Intinya kan dia ingin membela capres-cawapres yang diusung."
"Karena dia mengusung Prabowo-Gibran yang sangat kencang nuansa dinastinya, saya kira itu pesan sebagai argumen defensif atas pencalonan pen-cawapres-an Gibran, bukan dia (Ade Armando) tidak tahu soal Jogja," jelasnya.
Arya melanjutkan, pernyataan yang dilontarkan Ade Armando juga bukanlah isu yang baru.
Apalagi UU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah disahkan sejak 2012 lalu.
Pihaknya pun pernah membuat sebuah riset yang dipublikasikan di jurnal internasional dengan judul 'Obedient Liberals Monarchy Enclave in Yogyakarta'.
"Berdasar riset tersebut, di atas 70 persen masyarakat DIY menyetujui dengan model pemerintahan di Jogja, yakni pemerintahan itu ditetapkan bukan dipilih. Jadi hanya sekitar 25 persen yang menyatakan tidak setuju."
"Banyak faktornya yang kemudian saya sebut masyarakat Jogja obedient in liberal, jadi sebenarnya bukan hanya konsensus elite, tapi ternyata publiknya juga setuju dengan sirkulasi kekuasaan yang turun temurun karena angkanya cukup besar," terang Arya.
Obedient liberal, kata Arya, ialah orang-orang yang berpandangan liberal, tetapi patuh atau bangga terhadap sistem kekuasaan yang bekerja di Jogja.