Dahnil Sebut Hasto Menghina Nalar Soal Utang Kementerian Prabowo, Sindir PDIP Jual Aset Negara
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik utang negara yang membengkak di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI yang dipimpin Prabowo Subianto.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik utang negara yang membengkak di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI yang dipimpin Prabowo Subianto.
Utang itu membengkak untuk membeli berbagai alutsista negara.
Menanggapi hal itu, Juru bicara Kemenhan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku pihaknya tidak masalah dengan kritik yang diarahkan kepada Kemenhan RI.
Akan tetapi, ia menyoroti jika isu itu ditarik ke ranah politik.
Menurutnya, pernyataan Hasto tersebut dinilai telah menghina nalar publik. Sebab, Hasto seolah-olah ingin membawa isu bahwasanya Prabowo ataupun Kemenhan banyak berutang.
"Ini menjadi masalah karena seolah olah ditarik seperti kemarin pernyataan mas Hasto. Ini pak Prabowo nambah utang Kementerian Pertahanan, jadi seolah-olah yang berutang Pak Prabowo. Dan itu yang menurut saya cenderung menghina nalar publik," ucap Dahnil dalam diskusi di daerah Jakarta Selatan, Jumat (5/1/2024).
Hasto, menurutnya, juga mengeluarkan pernyataan tersebut dengan sangat tendensius untuk dapat menyerang Prabowo yang juga maju sebagai capres nomor urut 2.
"Jadi saya mau menjelaskan begini dan saya yakin mas Hasto seharusnya paham karena ini statement politis yang tendensius ingin menyerang Pak Prabowo sehingga seolah-olah menghina nalar publik," katanya.
Dijelaskan Dahnil, sejatinya tidak ada namanya utang Kemenhan maupun utang Prabowo Subianto soal pembelian alutsista. Baginya, hal tersebut bentuk ketidakpahaman soal permasalahan APBN.
"Pertama begini, tidak ada itu yang namanya utang kementerian pertahanan. Tidak ada itu yang namanya apalagi utang Prabowo Subianto. Itu lebih nggak ada lagi," ucapnya.
"Maksud saya gini, yang harus dipahami oleh publik adalah ini APBN, APBN itu ada sisi pendapatan, ada sisi belanja, ada sisi pembiayaan, yang namanya kementerian dan lembaga karena itu basis APBN kita itu kan basis kinerja," sambungnya.
Ia menuturkan bahwasanya semua Kementerian dan Lembaga (K/L) mengajukan program dan rencana kerja mereka dalam setiap pembahasan APBN. Adapun rujukannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Semuanya mengajukan setiap tahun dan itu dibahas bersama Bappenas dan Kemenkeu. Nanti kemudian dirumuskan keluarlah nanti di sisi belanja," katanya.
Dirinya menjelaskan APBN Indonesia juga memakai rezim defisit. Artinya, jika RI tidak membayar bunga utang, maka sejatinya APBN bisa surplus sebesar Rp 94 triliun.
Akan tetapi, lanjut dia, Indonesia harus membayar bunga utang sehingga harus defisit Rp300 triliun. Itulah kenapa, Indonesia terpaksa harus berutang untuk membiayai program dari berbagai Kementerian dan Lembaga.
"Ini kan kalau dijelaskan kepada masyarakat logikanya sederhana, kalau di rumah kita kebutuhannya A B C D kemudian gaji dan pendapatan kita tidak cukup. Apa yang bisa dilakukan orang rumah?" katanya.
Di sisi lain, Dahnil menuturkan bahwa negara sejatinya memiliki opsi lain selain berutang. Ia menyebut pemerintah bisa mengambil langkah dengan menjual aset negara.
Ia pun mengungkit hal ini peran dialami saat Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri yang juga petinggi PDIP yang juga partai Hasto. Saat itu, negara pernah menjual berbagai aset untuk menutupi defisit anggaran negara.
"Itu pernah dilakukan negara dulu. Ketika Mas Hasto sedang berkuasa itu dilakukan (aset dijual). Indosat dijual. Itu kan negara melakukan itu. Kapal tanker dijual ketika Mas Hasto berkuasa dulu. Nah kalau nggak ada aset karena Pak Jokowi sekarang nggak mau jual aset ya salah satu cara karena kita nggak liquid nggak ada dana liquid ya utang. Salah nggak utangnya? nggak. Kan untuk membiayai bukan untuk yang lain, untuk jaga negara," jelasnya.
Baca juga: Debat Capres Ke-3: Ganjar Bahas Alutsista, Prabowo Enggan Rendahkan Capres Lain, Anies Beri Kejutan
Lagi pula, Dahnil mengingatkan utang negara tidak hanya dipakai untuk Kementerian Pertahanan saja. Akan tetapi, utang juga untuk pembiayaan berbagai Kementerian dan Lembaga.
"Bedanya di Kementerian Pertahanan akan digunakan untuk alutsista dan transparan dan akuntabel. Kalau di Kemensos kan pernah dikorupsi, pernah ditangkap. Jadi tendensius ketika kita bicara utang, seolah olah ingin membodohi publik bahwa ini Prabowo menambah utang. Padahal perspektifnya keliru ketika kita bicara pertahanan," tukasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo - Mahfud MD, Hasto Kristiyanto menyindir calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto yang dianggapnya lebih prioritas pada pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Hasto mengatakan, berdasarkan analisis para pakar menunjukkan Prabowo mencoba menampilkan seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya dari cara bicaranya.
Sebaliknya, dia menyebut bahwa karakter Prabowo tetap berbeda dengan Presiden Jokowi termasuk program-program yang ditawarkan.
"Ya, desain yang kami dapatkan dari analisis para pakar memang Pak Prabowo itu mencoba menampilkan Pak jokowi hanya dari cara bicaranya, dari karakternya, dari program-programnya berbeda," kata Hasto di Gedung High End, Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) ini mencotohkan ketika rakyat sedang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok.
"Contohnya apa? Saat ini rakyat menghadapi kesulitan kenaikan harga kebutuhan pokok. Cabe naik," ucap Hasto.
Hasto menjelaskan, kalau Presiden Jokowi mendapat keluhan masyarakat, maka solusinya langsung turun.
"Kalau Pak Prabowo solusinya memprioritaskan alutsista, menambah utang luar negeri alutsista. Jadi negara ini seperti mau perang. Ini yang membedakan," ungkapnya.
Dia menuturkan, hanya capres nomor 3, Ganjar Pranowo yang memiliki gaya kepemimpinan seperti Presiden Jokowi.
"Jadi maunya meniru hasilnya berbeda. Hasilnya Pak Ganjar yang seperti Pak Jokowi," tutur Hasto.
Adapun Kemenhan baru saja membeli lima pesawat angkut berat Super Hercules C-130J untuk TNI AU dari pabrikan Lokcheed Martin, Amerika Serikat.
Tiga pesawat di antaranya sudah tiba di Tanah Air dan sudah dioperasikan.
Untuk pesawat tempur, Kemenhan membeli Rafale dari Dassault Aviation, Perancis dan mengakuisisi 12 unit Mirage 2000-5 dari Angkatan Udara Qatar.
Dalam kontrak terbaru, Kemenhan telah menyelesaikan kontrak pembelian 18 unit jet tempur Rafale, dari rencana 42 unit.
Sementara untuk matra laut, Kemenhan masih menjajaki pembelian kapal selam, salah satunya Scorpene dari Perancis.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.