Pengganti Jokowi Diminta Segera Evaluasi Kebijakan Hilirisasi, Ini yang Perlu Dibenahi
Kebijakan hilirisasi yang saat ini dijalankan pemerintahan Joko Widodo belum sepenuhnya berjalan maksimal.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengharapkan para Calon Presiden (Capres) dapat memberikan gagasan yang jelas terkait kebijakan hilirisasi di Indonesia untuk 5 tahun ke depan.
Menurut Fahmi, kebijakan hilirisasi yang saat ini dijalankan pemerintahan Joko Widodo belum sepenuhnya berjalan maksimal.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya mineral yang jumlahnya cukup fantastis. Mulai dari nikel, bauksit, timah, dan jenis mineral lainnya.
Baca juga: Kebijakan Hilirisasi Jadi Langkah Strategis Bagi Indonesia Menuju Peradaban Maju
"Isu yang selama ini yang menjadi pembicaraan adalah hilirisasi. Bahkan semua calon itu seolah-olah mengatakan apapun masalahnya maka solusinyalisasi hilirisasi. Padahal tak sesederhana itu," ungkap Fahmy saat dihubungi Tribunnews, Jumat (12/1/2024).
Ia melanjutkan, terdapat sejumlah poin yang membuktikan kebijakan hilirisasi saat ini belum memberikan hasil yang maksimal.
Pertama, tingkat pengolahan hilirisasi saat ini masih berada pada posisi tahap awal, dan kedepannya harus dapat disempurnakan lagi potensinya.
"Hilirsasi yang sudah dimulai oleh Jokowi yaitu dengan pelarangan ekspor biji nikel, itu tidak cukup. Jadi selama ini hilirsasi itu baru sampai tahap produk turunan pada tingkat pertama. Paling maksimal tingkat kedua," papar Fahmy.
Kedua, kebijakan hilirisasi disebut masih dominan untungkan negara lain, terutama China.
Hal itu bisa terjadi lantaran perusahaan hilirisasi nikel dalam negeri kebanyakan dari China, sehingga uang hasil penjualan dari hilirisasi nikel dibawa ke Negeri Tirai Bambu.
Ketiga, karena perusahaan hilirisasi rata-rata berasal dari China, maka tenaga kerjanya pun didatangkan dari negara tersebut.
Apabila kebijakan hilirisasi dapat disempurnakan, maka nilai ekonomi yang diperoleh Indonesia akan semakin besar.
"Kalau dari sisi yang nilai tambah menurut saya gagal, karena penikmat terbesar dari nilai tambah hilirisasi itu lebih banyak dari China. Bahkan China membawa tenaga kerjanya, ini (kebijakan) yang harus dikoreksi," pungkas Fahmy.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.