Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jelang Debat Cawapres, Pegiat Lingkungan Soroti Penambangan Nikel, Ekspansi Sawit dan Food Estate

Mardiyah Chamim menyoroti pentingnya perlindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dari penambangan nikel, dan ekspansi sawit.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Jelang Debat Cawapres, Pegiat Lingkungan Soroti Penambangan Nikel, Ekspansi Sawit dan Food Estate
Tribunnews/JEPRIMA
Calon Wakil Presiden Nomor urut 1 Muhaimin Iskandar, Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka dan nomor urut 3 Mahfud MD saat mengikuti acara Debat Calon Wakil Presiden 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/12/2023). Pemerintah dianggap belum serius memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Hal itu disebatkan karena tidak adanya political will pemerintah untuk kemajuan masyarakat adat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pegiat lingkungan mengungkapkan keresahannya terkait kondisi hutan adat saat ini. Keberadaan hutan adat kian parah karena pengakuan oleh pemerintah dinilai minim.

Persentasi hutan adat sekarang hanya 1,6 persen atau sebesar 221.648 hektare dari total 20.856.744 hektare potensi hutan adat yang ditetapkan.

Potensi tersebut setara dengan 10.93 persen luas daratan Indonesia.

Baca juga: Cak Imin Disarankan Tak Lagi Gunakan Gimik Monoton dalam Debat Cawapres

Proporsi penetapan hutan adat yang rendah berada di Maluku dengan 0,10 persen dan Papua 0,36 persen.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya ketidaksetaraan regional dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Ini memerlukan perhatian khusus terutama di wilayah-wilayah tersebut guna memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi.

Oleh karena itu, sejumlah pegiat berharap dalam debat cawapres nanti malam, dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, muncul gagasan baru dari masing-masing kontestan.

Baca juga: Cak Imin, Gibran, dan Mahfud Siap Hadapi Debat Cawapres, Disebut Bakal Seru dan Ada Kejutan

BERITA REKOMENDASI

Communication Strategist Development Dialog Asia (DDA), Mardiyah Chamim menyoroti pentingnya perlindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dari penambangan nikel, dan ekspansi sawit.

“Harapanku, Pak Mahfud juga membahas bagaimana melindungi masyarakat adat dan komunitas lokal dari penambangan nikel, ekspansi sawit,” ujarnya saat dihubungi di Bogor, Sabtu (20/1/2024).

Ia mengungkapkan, perlunya standar operasional prosedur (SOP) dan standar yang memenuhi safeguarding lingkungan, masyarakat adat dan lokal.

“How-nya ini harus melibatkan best practices yang sudah terjadi di lapangan, dengan melibatkan banyak diskusi serta partisipasi masyarakat sipil.

Menurutnya kebijakan apapun harus berdasarkan bukti, riset dan data. Dia mencontohkan, jangan hanya bagi-bagi susu sapi gratis tanpa riset. Padahal stunting bukan dikarenakan kurangnya susu sapi. Ini menurut Mardiyah mengabaikan banyak riset dan kampanye Air Susu Ibu (ASI).

Sementara itu, pegiat lingkungan Innandya Irawan, menilai kegagalan food estate di Kalimantan Tengah yang bermula dari penggundulan hutan dan penanaman tanaman pangan yang tidak cocok dengan kondisi tanah, sehingga memicu carbon emission dan membuat banjir kawasan sekitar.

Hal ini, menurutnya, jelas merugikan masyarakat adat secara langsung. Dia mempertanyakan solusi para paslon. “Bagaimana justifikasi dan ramifikasi dari rencana yang salah kaprah ini?” ujarnya.

Political Will Pemerintah Lemah

Pemerintah dianggap belum serius memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Hal itu disebatkan karena tidak adanya political will pemerintah untuk kemajuan masyarakat adat.

“Lambatnya kemajuan pengakuan hak-hak masyarakat adat sejauh ini, disebabkan tidaknya adanya political will pemerintah,” ujar peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, Yando Zakaria, saat dihubungi di Yogyakarta.

Menurut Yando, sistem pengakuan di Indonesia masih sangat sentralistis, birokratis, teknokratis, politis, dan berbiaya tinggi.

Saat ini misalnya, terkait pengakuan hak masyarakat adat atas tanah dan hutan, tidak ada masyarakat adat yang bisa memperolehnya tanpa bantuan pihak ketiga, seperti LSM dan lembaga donor luar negeri yang peduli.

“Ini artinya ada masalah pada regulasi,” ungkap Yando.

Alih-alih mempercepat pengakuan hak masyarakat adat, tambah Yando, regulasi yang ada justru menjadi penghalang pengakuan hak konstitusional masyarakat adat itu. Padahal, dalam perspektif HAM, pemenuhan hak-hak masyarakat adat itu adalah kewajiban negara dan pemerintah.

“Maka, regulasi yang ada saat ini harus dirombak total,” tegas Yando.

Kritikan mengenai isu lingkungan dan masyarakat adat ini direspon Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Alexander Sonny Keraf. Dia mengatakan Cawapres Nomor Urut 3, Prof. Mahfud MD siap untuk berdebat dan menekankan visi misi pada penegakan dan kepastian hukum.

Baca juga: Seputar Debat Cawapres: Cak Imin Dimentori Anies, Yenny Wahid Temani Mahfud Latihan, Gibran?

Pengelolaan sumber daya alam, ujar Sonny, sangat tergantung pada kepatuhan terhadap peraturan yang ada, jika tidak, maka alih fungsi lahan tidak akan memperhatikan pembangunan berkelanjutan.

“Jadi kuncinya adalah penegakan hukum. Ini akan menjadi kekuatan Mahfud dalam debat hari ini,” kata dia.

Selain itu, Sonny mengungkapkan Mahfud juga menguasai persoalan yang dihadapi masyarakat adat dan desa saat ini, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang sampai saat ini belum disahkan. Padahal, pemerintah menjanjikan hal itu.

“Prof Mahfud sangat siap untuk berdebat. Jangan khawatir, beliau sudah malang melintang pada isu lingkungan, isu sumber daya. Jadi, paham betul,” kata Sonny.

Melalui keterangan tertulis, Penasihat Ahli International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Zoemrotin K. Susilo, mengatakan, ketiga paslon capres-cawapres wajib siap menerima kondisi tongkat estafet pembangunan berkelanjutan dan memaparkan cara membiayai visi misi program pembangunan berkelanjutan.

“Jangan sampai usulan pembiayaan pembangunan berkelanjutan mendahulukan kepentingan investor dan mengabaikan lingkungan serta kepentingan rakyat, termasuk bagaimana kemudian semua pihak secara inklusif juga bisa mengakses pendanaan tersebut,” ujar Zoemrotin yang juga dikenal sebagai aktivis perempuan dan masyarakat sipil.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas