Mahasiswa dan Aktivis 98 Gelar Konsolidasi Pro Demokrasi Lawan Politik Dinasti dan Pelanggaran HAM
Usai putusan MK dinyatakan dibuat dengan pelanggaran etik berat, malah tidak ada itikad dan upaya dari pemerintah untuk menjaga kualitas demokrasi.
Penulis: Erik S
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia dan mantan aktivis 98 menggelar acara konsolidasi demokrasi di Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Mereka menyoroti dinamika situasi politik nasional, khususnya menjelang pemilu, yang dianggap merusak iklim demokrasi. Hal itu dari putusan terbaru Mahkamah Konstitusi yang kontroversial hingga soal netralitas aparatur negara baik TNI, Polri, maupun ASN.
Mereka menyatakan menolak setiap bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), politik dinasti, dan neo Orba (Orde Baru).
Acara bertema Apa Saja Boleh Beda, Musuh Kita Tetap Sama: Pelanggaran HAM, Politik Dinasti dan Neo Orba itu diikuti oleh seluruh elemen mantan aktivis 98.
Baca juga: Fadjroel Rachman Dukung Keberlanjutan Program Presiden Jokowi tetapi Menentang Politik Dinasti
Di antara yang hadir adalah Ray Rangkuti, Petrus Haryanto, Azwar Furgudyama, Tendry Masengi, Parto Bangun, Syafieq Alielha, Joshua Napitupulu, Ubadillah Badrun, Antonius Danar serta perwakilan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia.
“Acara ini merupakan upaya konsolidasikan terus-menerus yang dilakukan oleh kawan-kawan aktivis, kawan-kawan mantan aktivis 98, mahasiswa, dan tentu bersama dengan rakyat yang makin hari makin resah dengan perkembangan situasi politik nasional khususnya menjelang pemilu,” ujar Ray Rangkuti.
Menurutnya, setelah putusan MK yang dinyatakan dibuat dengan pelanggaran etik berat, malah tidak ada itikad dan upaya dari pemerintah untuk menjaga kualitas demokrasi. Dalam hal ini kualitas pelaksanaan pemilu alih-alih yang terjadi yaitu tindakan-tindakan yang kian memperburuk kualitas demokrasi.
“Antara lain saat ini yang mencuat adalah soal netralitas aparatur negara apakah itu TNI, Polri, PNS, ASN dan sebagainya yang hari demi hari makin sering kita baca, dengar dan lihat di berbagai tayangan soal mereka yang seperti tidak netral dalam pelaksanaan pemilu. Nah ditambah dalam situasi yang seperti itu mulai muncul kriminalisasi di sana sini salah satunya yang terakhir saudara Palti Hutabarat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyebarkan berita hoaks, padahal kita tidak tahu siapa yang sebetulnya membuat hoaksnya. Mestinya kan si pembuat hoaksnya dulu yang dinyatakan ditangkap setelah itu silahkan yang menyebarkan yang ditangkap,” jelas Ray.
Karena itu yang digarisbawahi dalam acara konsolidasi demokrasi lebih dari sekadar persoalan siapa yang kalah dan menang dalam pemilu, melainkan bagaimana demokrasi menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang akan datang.
“Itulah motivasi utama kawan-kawan datang berkumpul di sini yaitu menyuarakan keresahan tadi. Dan saya tidak terlalu yakin kalau tidak ada perbaikan terhadap kualitas demokrasi kita khususnya pemilu gerakan mahasiswa ini akan berhenti. Jadi mereka bergerak tidak melihat urusan pemilu saja,” ucap Ray.
Aktivis 98 lainnya, Parto Bangun, menyebut aroma Orba sudah sangat kentara hari ini dan dalam pemilu kali ini. Pemerintah hari ini berusaha perpanjang kekuasaan dengan cara menitipkan anaknya ke pelanggar HAM. Menurutnya hal itu merupakan preseden buruk.
“Ada paslon yang berkompetisi dua duanya bermasalah. Prabowo Subianto punya masalah di masa lalu dan wakilnya (Gibran Rakabuming) ciptakan masalah baru yang kemudian akan menjadi masalah masa depan yaitu pelanggaran etika. Kita menolak politik dinasti hingga ke tingkat terbawah,” kata Parto.
Parto mengatakan isu pelanggaran HAM sebenarnya bukan lah isu musiman. Karena, kata Parto, setiap hari kamis ada aksi Kamisan di depan Istana Negara.
"Padahal setiap hari Kamis kawan kita berdiri di depan istana, hanya 100 meter di depan Istana," kata dia.
Sementara itu akademisi Ubedillah Badrun mengkritisi presiden Jokowi yang membangun dinasti politik.
Ubedillah awalnya menduga Presiden hanya akan menjadikan anak dan menantunya menjadi wali kota.
Tetapi kini dia tidak hanya jadikan anaknya jadi wali kota, tapi jadi cawapres.
Said Fatah dari perwakilan mahasiswa dari Indramayu menyampaikan tidak ada kata terlambat untuk melakukan gerakan penyelamatan demokrasi. Konsolidasi tersebut merupakan awal perjuangan prodemokrasi dan reformasi yang dikorupsi.
“Rakyat adalah penguasa di Indonesia, hak kita untuk menuntut demokrasi, mari kita bersinergi melawan upaya-upaya yang merusak demokrasi, melawan politik dinasti, pelanggar HAM, dan neo Orba,” pungkas Said.