Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Perludem: Ada Persoalan dalam Kerangka UU Pemilu
Perludem mengatakan pernyataan Jokowi yang menyebut presiden boleh kampanye dan memihak menjadi contoh persoalan kerangka hukum UU Pemilu.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut presiden boleh kampanye dan memihak adalah wujud persoalan terkait kerangka hukum di Indonesia, khususnya Undang-Undang (UU) Pemilu.
"Terdapat persoalan dalam kerangka hukum kita, terutama dalam UU Pemilu. Sebab ada beberapa ketentuan yang memberikan kemungkinan kepada presiden untuk terlibat dalam kampanye, yang tentu ini memberikan kesempatan presiden dan pejabat negara lainnya untuk tidak netral," kata peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz kepada Tribunnews.com, Rabu (24/1/2024).
Hafiz mengungkapkan persoalan ini menjadikan presiden maupun pejabat negara lainnya menjadi tidak netral.
Persoalan lain yang menjadi masalah utama dalam hukum di Indonesia, sambung Hafiz, adalah adanya larangan agar pejabat negara tidak menguntungkan salah satu paslon di kala ada aturan yang memungkinkan pejabat terlibat secara langusung dalam kampanye.
"Namun di sisi lain, ada larangan bagi pejabat negara untuk tidak membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, termasuk kegiatan yang mengarah pada keberpihakan," tuturnya.
Melihat adanya persoalan semacam ini, Hafiz mengatakan bahwa hal terpenting adalah presiden maupun pejabat negara tidak menggunakan fasilitas negara untuk menguntungkan salah satu paslon.
"Nah yang penting dilihat sebetulnya apakah presiden menggunakan sumber daya negara, termasuk keputusannya yang secara sengaja dan atau tidak sengaja memberikan keuntungan pada peserta pemilu tertentu."
"Bila itu terjadi, maka ada pelanggaran pemilu yang perlu ditindak," ujarnya.
Baca juga: Jokowi: Presiden Boleh Kampanye-Memihak, Menteri Juga Boleh
Etika Harus Dikedepankan
Hafiz pun menganggap dengan berbagai persoalan kerangka hukum tersebut, maka agak sulit untuk membatasi pejabat negara lainnya agar tidak memberikan dukungan agar tetap memberikan ruang yang setara bagi tiap paslon.
Alhasil, sambungnya, jika Jokowi memang memiliki komitmen untuk menjaga demokrasi, maka etika yang paling diutamakan alih-alih hanya aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Kita punya preseden baik ketika Presiden tidak memihak pada capres atau kelompok politik manapun, harusnya itu jadi contoh."
"Sebab forebearance etik itu penting untuk menjamin kesetaraan ruang dalam kontestasi dan menjaga kepercayaan rakyat," katanya.
Hafiz pun kembali menegaskan agar siapapun presiden termasuk Jokowi tetap harus adil bagi semua pihak.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.